BAB
7
Kata “korupsi” berasal
dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau “corruptus” (Webster
Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa
“corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang
lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption,
corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan corruptie/korruptie” (Belanda).
Bentuk – bentuk korupsi
menurut KPK yaitu Kerugian Keuangan Negara, Suap Menyuap, Penggelapan dalam
Jabatan, Pemerasan, Perbuatan Curang, Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan, Gratifikasi.
Seorang senior economist
pada Development Research Group, World
Bank yaitu Svensson mengajukan dan
membahas delapan pertanyaan mengenai korupsi sebagai berikut:
- What is corruption? (Apa sesungguhnya korupsi itu?)
- Which countries are
the most corrupt?
(Negara-negara mana yang paling korup?)
- What are the common
characteristics of countries with high corruption? (Apa ciri-ciri umum negara yang
mempunyai tingkat korupsi yang tinggi?)
- What is the
magnitude of corruption?
(Berapa besarnya korupsi?)
- Do higher wages of
bureaucrats reduce corruption?
(Apakah gaji lebih tinggi untuk para. birokrat akan menekan korupsi?)
- Can competition
reduce corruption?
(Apakah persaingan dapat menekan korupsi?)
- Why have there been
so few (recent) successful attempts to fight corruption? (Mengapa (akhir-akhir ini)
begitu sedikit upaya yang berhasil memerangi korupsi?)
- Does corruption
adversely affect growth?
(Apakah korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan?
URUTAN PEMBAHASAN (http://linkshrink.net/7UP2xY)http://linkshrink.net/7UP2xY)
- Pengertian
Korupsi
- Delapan
Pertanyaan tentang Korupsi
- Korupsi menurut tinjauan sosiologis Prog. Sted Hussein
Alatas
- Korupsi
menurut tinjauan sosiologis Aditjondro
- Bentuk
– Bentuk Korupsi
- Faktor
– Faktor Penyebab Korupsi
- Dampak
Korupsi
1. PENGERTIAN KORUPSI
Kata
“korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951)
atau “corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya
dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”,
suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal
istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis)
dan corruptie/korruptie” (Belanda).
Selanjutnya untuk
beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) :
- Korup artinya busuk,
suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri
dan sebagainya;
- Korupsi artinya perbuatan
busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan
- Koruptor artinya
orang yang melakukan korupsi.
Dengan demikian arti
kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan
kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral,
sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut
faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam
kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Menurut Subekti dan
Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie adalah korupsi, perbuatan curang,
perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara (Subekti dan
Tjitrosoedibio : 1973).
Selanjutnya Baharudin
Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah korupsi dalam
berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan
dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan
umum. Hal ini diambil dari definisi yang berbunyi “financial manipulations
and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt” (Evi
Hartanti: 2008).
Lingkungan
perekonomian dan kelembagaan menentukan lingkup korupsi dan insentif untuk
melakukan korupsi. Sistem perekonomian dan kelembagaan yang meningkatkan
manfaat atau keuntungan korupsi cenderung memiliki empat ciri yaitu :
- Individu
pejabat mempunyai kekuasaan mutlak atas pengambilan keputusan
- Pejabat
yang bersangkutan mempunyai kelonggaran wewenang yang besar
- Mereka
tidak perlu mempertanggungjawabkan tindakan mereka
- Mereka
beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat keterbukaannya
Keempat ciri ini
melahirkan rumus atau persamaan yang berikut :
C = MP + D – A - Tdm
Dimana :
C =
corruption
MP =
monopoly power
D =
discretion
A =
accountability
Tdm =
transparency of decision making
2. DELAPAN PERTANYAAN TENTANG KORUPSI
Bagian ini disarikan dari
tulisan Jakob Svensson, seorang senior economist pada Development Research Group, World Bank. Svensson mengajukan dan
membahas delapan pertanyaan mengenai korupsi sebagai berikut:
- What is corruption? (Apa sesungguhnya korupsi itu?)
- Which countries are
the most corrupt?
(Negara-negara mana yang paling korup?)
- What are the common
characteristics of countries with high corruption? (Apa ciri-ciri umum negara yang
mempunyai tingkat korupsi yang tinggi?)
- What is the
magnitude of corruption?
(Berapa besarnya korupsi?)
- Do higher wages of
bureaucrats reduce corruption?
(Apakah gaji lebih tinggi untuk para. birokrat akan menekan korupsi?)
- Can competition
reduce corruption?
(Apakah persaingan dapat menekan korupsi?)
- Why have there been
so few (recent) successful attempts to fight corruption? (Mengapa (akhir-akhir ini)
begitu sedikit upaya yang berhasil memerangi korupsi?)
- Does corruption
adversely affect growth?
(Apakah korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan?
Mereka yang mempelajari
korupsi dan dampaknya terhadap perekonomian, akar, menghadapi kedelapan
pertanyaan di atas. Kedelapan pertanyaan itu beserta jawabannya memberikan
kerangka teoretis mengenai korupsi. Jawaban atas ke delapail pertanyaan itu
kadang-kadang bersifat tentatif, dan membutuhkan kajian bare untuk
mengonfirmasi atau membantah temuan sementara itu. Referensi yang digunakan
Svensson, disertakan dalam rangkuman ini.
Pertanyaan Pertama
What is corruption? Korupsi umumnya didefinisi adalah
penyalahgunaan jabatan di sektor pemerintahan (misuse of public office) untuk keuntungan pribadi. Korupsi yang
didefinisikan seperti itu meliputi, misalnya, penjualan kekayaan negara secara
tidak sah oleh pejabat, kickbacks dalam pengadaan di sektor pemerintahan,
penyuapan, dan "pencurian" (embezzlement) dana-dana pemerintah.
Korupsi adalah outcome, cerminan dari lembaga-lembaga
hukum, ekonomi, budaya dan politik suatu negara. Korupsi dapat berupa tanggapan
atas peraturan yang berguna atau peraturan yang merugikan. peraturan lalu
lintas, misalnya, adalah peraturan yang berguna untuk mengatur ketertiban di
jalan. Pelanggar aturan ini menyogok polisi lalu lintas untuk menghindari
sanksi. Mau, kebijakannya memang buruk dan sengaja diadakan agar orang menyogok
(Djankov, LaPorta, Lopez- de - Sdanes dan Shleifer, 2003).
Sejumlah
kerangka berpikir yang berupaya mencari kesamaan (parallel) korupsi telah
diajukan. Sekalipun masing-masing kerangka ini membantu menjelaskan hall-hall
tertentu, tidak satupun mampu menangkap gejala korupsi secara sempurna.
Contoh,
korupsi sering disamakan dengan pajak atau fee. Sebagaimana halnya dengan
pajak, uang suap (bribes) tidak masuk
kas negara. Namun ada perbedaan penting antara uang suap dan pajak. Uang suap
melibatkan biaya transaksi (transaction cost), karena dalam penyuapan ada unsur
ketidakpastian—sudah menyogok, belum tentu mendapat apa yang diharapkan—dan
unsur kerahasiaan—jangan sampai ada orang lain tabu atau bisa membukaan
terjadu-iya penyogokan. (Shleifer dan Vishay, 1993). Kontrak yang korup tidak
dapat digunakan di pengadilan. Seorang pejabat bisa mengabaikan
"kesepakatan" dengan pemberi suap, atau is minta tambahan uang suap
untuk pemberian jasa yang sama. (Boycko, Shleifer dan Vishay, 1995).
Penyuapan
juga mempunyai persamaan dengan melobi (lobbying)
dalam bentuk sumbanga-ri kampanye pemilihan umum, atau "beli
pengaruh" dengan cara lain. Namun, persamaan ini pun tidak sepenuhnya
benar. (Harstad dan Svensson, 2004). Misalkan suat', negara mengambil kebijakan
untuk menaikkan tarif bea masuk atau membuat aturan tambahan yang mewajibkan
izin impor. Perusahaan dapat memutuskan untuk menyuap pejabat bea dan cukai
untuk menyelundup bea masuk atau menghindari
izin irnpor. Alternatifnya, perusahaan perusahaan di bisnis yang sama
melobi pemerintah untuk bisa memperoleh izin secara cuma-cuma atau mendapat
pembebasan/keringanan tarif bea masuk. Dalam hal penyuapan, yang mendapat manfaat
adalah perusahaan yang memberikan suap. Dalam melobi; senlua perusahaan dalam
bisnis yang sama, diuntungkan. Perbedaan kedua, perubahan peraturan melalui lobbying
bersifat (lebih) permanen. Kalau pemerintah ingin kembali ke peraturan
lama, ada biaya yang harus dikeluarkan. juga pejabat yang masih meminta uang
suap, akan kehilangan daya memaksa kehendaknya. Perbedaan ketiga, dalam melobi
keputusan dibuat oleh beberapa pejabat di tingkat yang relatif tinggi,
menyangkut pertimbangan "uang hasil lobbying" di satu pihak
dengan kewajiban pemerintah untuk mengalah kepada kehendak pelobi. Dalam
penyuapan, pertimbangan manfaat – biaya diputuskan oleh pejabat yang menerima
suap, secara perorangan. Perbedaan terakhir, dari segi perusahaan. Perusahaan
yang menyuap mempertimbangkan manfaat dan biaya dari sudut pandang perusahaan
itu sendiri. Dalam hal lobbying,
pertimbangan manfaat-biaya dilihat dari perusahaan-perusahaan secara
kolektif. Mengapa perusahaan memilih lobbying ketimbang suap, apa
konsekuensi dari pilihan ini, dianalisis oleh Harstad dan Svensson (2004).
Korupsi, atau lebih tepat
penyuapan, tidaklah sama dengan rent seeking, sekalipun kedua istilah ini sering digunakan dalam rnakna yang
sama. Rent seeking adalah upaya menikmati rent dalam
segala bentuk, Lin-wi-nnya dengan restu pemerintah. (Tollison, 1997). Contoh: kenikmatan hasil tol dari jalan yang dibangun
negara dengan utang negara. Pemberian suap secara teknis merupakan
transfer—dari pemberi ke penerima uang suap.
Tidak ada definisi yang
sempurna menjelaskan fenornena korupsi. Beberapa kegiatan menimbulkan
pertanyaan mengenai legalitas atau keabsahan dari segi hukum, misalnya lobbying, pemberian sumbangan kampanye partai politik, memberikan jabatan tinggi
dengan gaji besar kepada mantan pejabat, dan lain-lain.
Pertanyaan Kedua
Which
countries are the most corrupt?
Analisis Svensson mengenai pertanyaan ini beserta jawabannya. Inti dari pertanyaan ini adalah, bagaimana kita mengukur
korupsi sedemikian rupa sehingga kita memperoleh gambaran antar-negara. Kajian
mengenai pengukuran korupsi antar-negara oleh Knack dan Keefer (1995) dan Mauro
(1995) didasarkan atas indikator korupsi yang dihimpun oleh
perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam usaha mengukur risiko, (private
risk-assessment firms). Di antaranya, International Country Risk Guide (ICRG) adalah yang paling populer, karena" is meliputi lebih banyak kurun
waktu dan negara.
Bentuk
yang kedua adalah indeks yang menunjukkan rata-rata dari berbagai peringkat oleh sumber-sumber yang menghimpun
data mengenai persepsi adanya korupsi. Di antaranya, yang paling populer adalah
Corruption Perception Index, disingkat CPI.
Kaufmann, Kraay dan
Mastruzzi (2003) menghasilkan ukuran yang nielengkapi pengukuran tersebut di atas,
yakni Control of Corruption (CoC).
Kesimpulannya adalah,
ketiga indikator tersebut sebenarnya mencerminkan hal serupa. Metodologi
agregasi data di antara ketiga indikator itu hanya berbeda tipis. Korelasi
sederhana antara CoC (sejak 2002) dan CPI
(sejak 2003) adalah 0,97. Sedangkan korelasi antara CoC atau CPI dan
skor dari ICRG (sejak 2001) adalah 0,75. Ketiga indeks ini dalam ilmu statistik
dikenal sebagai ordinal indices.
Di samping itu, ada cardinal indices yang mengukur tingkat
korupsi antar-negara, sekalipun hanya sedikit makalah dalam literatur ekonomi
merujuk kepada indices ini. Ada dua cardinal indices yang didasarkan atas data
survei, yakni EBRD-World Batik Business Environment dan
Enterprise Performance Survey. Keduanya
menyurvei 10.000 manajer perusahaan tahun 1999 dan 2002. Mereka diminta
menaksir persentase pembayaran tidak resmi kepada pejabat negara terhadap
penjualan tahunan. Sayangnya, survei ini hanya meliputi 26 negara berkembang.
Pertanyaan Ketiga
What
are the common characteristics of countries with high corruption? kalau kita mengumpulkan negara-negara
yang dipersepsikan paling korup didunia, kita mungkin dapat menemukan beberapa petunjuk mengenai
ciri-ciri umum negara tersebut. Inilah yang dilakukan Svensson.
Tabel
7.1 menyajikan negara-negara yang menduduki peringkat 10% terbawah menurut CoC, CPI, ICRG,
dan ICVS (International Crime Victim Surveys). Semua negara dalam tabel ini adalah negara
berkembang. Hal yang menonjol sekah adalah negara-negara ini diperintali oleh pemerintahan sosialis. Dengan
sedikit perkecualian, mereka umumnya adalah negara berpenghasilan rendah. Dengan menggunakan skor keterbukaan (openness score) dari Sachs dan Warner (1995), mereka umumnya adalah
perekonomian tertutup (closed economies) kecuali Indonesia.
Apakah
kesimpulan secara intuitif di atas, didukung oleh basil riser yang lebih
sistematis? Ada teori-teori yang melihat ciri-ciri umum negara korup dari
peranan lembaga-lembaga (Institutional theories). Teori-teori ini dapat dipilah dalam
dua kelompok besar.
Kelompok
teori pertama memandang mutu lembaga—dan karenanya juga korupsidibentuk oleh
faktor-faktor ekonomi. Secara singkat, perkembangan lembaga-lembaga merupakan
respons terhadap tingkat pendapatan negara. (Lipset, 1960; Demsetz, 1967). Pandangan
yang terkait diberikan oleh human capital theory, yang melihat perkembangan
dalam human capital dan penghasilan menyebabkan perkembangan dalam kelembagaan
(Lipset, 1960; Glaeser, La Porta, Lopez-de Silanes dan ShIcifer, 2004).
Misalnya, pendidikan dan somber daya manusia diperlukan di pengadilan dan
lembaga - lembaga resmi lainnya agar pemerintahan berjalan efisien;
penyalahgunaan oleh pejabat akan hilang tak terdeteksi atau tidak ada yang
menentang kalau rakyat (pemilih dalam pemilu) itu buta huruf atau kurang
terdidik. Kelompok teori ini melihat pendapatan per kapita dan taraf pendidikan
sebagai penyebab korupsi.
Kelompok
institutional theories kedua
menekankan peran lembaga-lembaga secara lebih langsung. Teori-teori ini wring
kali memandang lembaga-lembaga sebagai panting menyerah (persistent) dan
bawaan (inherited). Dalam kaftan ini, Acernoglu, Johnson, dan Robinson (2001) menjelaskan bahwa di wilayah bekas jajahan,
lembaga-lembaga dibangun untuk kepentingan penjajah. Baru ketika penjajah Eropa
dating berbondong-bondong dalam jumlah besar, tumbuh lembaga-lembaga yang juga
menguntungkan penduduk asli. Sebaliknya, penyakit yang berkecamuk di wilayah
bekas jajahan, menjelaskan mengapa bangsa Eropa tidak berpindah ke sana.
Kesimpulan Acernoglu, Johnson, dan Robinson, korupsi akin berkecamuk di wilayah
bekas jajahan yang lingkungannya tidak ramah (inhospitable
environment)
Pandangan
lain dikemukakan LaPorta, Lopez-de Silanes, Shleifer, dan Vishny (1998, 1999) yang menekankan identitas penjajah,
khususnya sistem hukum yang dibawanya dari negara asal dan ditanamkan di
wilayah jajahan. Mereka berpandangan bahwa Prancis dan negara dengan sistem hukum sosialis (sebagai lawan dari negara-negara
bekas jajahan Inggris) lebih banyak mengeluarkan peraturan, dan
peraturan mengarah kepada korupsi.
Masih
ada lagi cara lain di mina tradisi sejarah dan kolonialisasi membawa dampak terhadap korupsi
(Treisman, 2000). Misalnya, lembaga-lembaga gereja Protestan, yang tumbuh sebagai oposisi terhadap agama
yang disponsori negara, lebih cenderung memantau penyalahgunaan kekuasaan oleh
pejabat. Landes (1998) berpendapat bahwa penyebaran pendidikan dan pembelajaran, di masa lalu dengan
potensi di masa kini, berjalan Lebih lambat di negara-negara Katolik dan Muslim. Oleh karenanya, is berpendapat,
kaum politisi dan pejabat (yang menyalahgunakan kekuasaan mereka) di
negara-negara Katolik dan Muslim
kurang ditentang (oleh masyarakat) dibandingkan dengan mereka yang berada di
negara-negara Protestan.
Dalam
pandangan kelompok teori kedua, lembaga-lembaga ekonomi dan politik
mernengaruhi tingkat korupsi, khususnya dalam cara-cara di mana lembaga-lembaga
itu membatasi persaingan pasar dan politik. Variabel yang menangkap pembatasan
pasar antara lain meliputi keterbukaan persaingan dari luar untuk impor (Ades
dan Di Tella, 1999) dan banyaknya peraturan mengenai masuknya perusahaan yang
barn mulai (start-up firms). (Djankov,
LaPorta, Lopez-de Silanes, dan Shleifer, 2002). Di nisi politik, pers yang
bebas memberikan informasi yang lebili banyak dibandingkan dengan pers yang
dikendalikan pemerintah, kepada pemilih mengenai perilaku menyimpang dari
pemerintah dan pe)abatiiya, termasuk korupsi (Besley dan Burgess, 2001;
Brunetti dan Weder, 2001). Lebih umum lagi, hak memilih kembali para politisi dapat memberikan insentif kepada
pejabat yang sekarang berkuasa untuk menekan
praktik rent seeking dan korupsi. Bentuk lembaga politik (antara parlementer versus presidensial dan sistem
proporsional dan majoritarian) dapat juga berpengaruh terhadap tingkat korupsi,
yakni melalui pengaruh ada-tidaknya insentif bagi politisi dan kernampuan
pemilih untuk membuat politisi rnernpertanggungjawabkan penyalahgunaan
kekuasaan mereka (Persson dan Tabellini, 2004).
Pertanyaan Keempat
What
is the magnitude of corruption? Peringkat
negara-negara berdasarkan persepsi tingkat korupsi bersifat subjektif.
Kesimpulan diambil bukan dari penelitian yang mendalam, melainkan atas dasar
kesan, dan pengamatan sekilas (anecdotal). Dalam beberapa tahun terakhir mulai
ada penelitian mengenai berapa besar sesungguhnya korupsi itu.
Svensson (2003) misalnya
menyampaikan surveinya pada sejumlah perusahaan di Uganda. Sekalipun survei itu
sudah disesuaikan beberapa kali untuk mendorong responder (para manajer di
perusahaan yang disurvei) memberikan jawaban yang sesungguhnya mengenai
penyuapan, namun pelaporan yang tidak benar (karena rasa khawaatir) masih
terjadi. Sekalipun dcinikian, survei itu menggambarkan keadaan yang suram
mengenai kewiraswataan di negara yang berkembang paling cepat di kawasan Sub
Sahara Afrika dalam 10-15 tahun terakhir. Lebih dari 80% perusahaan melaporkan
bahwa mereka yang menghindari membayar suap, memilih untuk tidak berurusan
dengan sektor publik. Ini berarti bahwa sektor publik tidak selamanya
mendapatkan barang dan jasa terbaik. Untuk perusahaan yang melaporkan mereka
membayar suap, Jurnlahnya (secara kasar) adalah 8% dari jumlah biaya.
Korupsi juga merajalela
dalam bidang pengadaan barang dan jasa. Olken (2003, 2004) menemukan bahwa 29% dari dana yang dialokasikan
untuk pembuatan jalan raga dan 18% dari dana yang dialokasikan untuk
subsidi beras untuk orang miskin (raskin) dikorupsi. Untuk menemukan jumlah ini, para peneliti membandingkan berapa dana yang
keluar dari APBN dengan dana yang sesungguhnya diterima oleh pengelola
program tersebut.
Svensson memberikan
contoh-contoh dari negara lain dan cara menaksir berapa jumlah korupsi dengan
mengambil sampel tertentu, seperti korupsi dalam proram minyak untuk pangan (Oil for Food Program) di Irak.
Contoh-contoh itu tidak disarikan di sini.
Pertanyaan Kelima
Do
higher wages of bureaucrats reduce corruption? Ini adalah pertanyaan yang menarik, yang juga sering kita
dengan di Indonesia: Jika gaji para birokrat dinaikkan, apakah kenaikan ini
diiringi dengan berkurangnya korupsi? Negara-negara donor dan organisasi
internasional sering kali menganjurkan negara berkembang untuk menaikkan gaji
pegawai negeri mereka.
Secara historis hal ini
dialami Swedia. Swedia yang sekarang dikenal sebagai negara yang paling tidak
korup dalam survei lintas negara, dianggap negara yang paling korup di Eropa
pada abad ke-17 dan 18. Kenaikan gaji pegawai negeri Swedia, yang dibarengi
dengan kebijakan deregulasi, dikemukakan sebagai penyebab tumbuhnya
administrasi negara yang jujur dan kompeten pada bagian akhir abad ke-19
(Lindbeck, 1975).
Dasar teoretis dari
gagasan untuk rekomendasi kebijakan menaikkan gaji pegawai negeri, datang dari Becker dan Stigler (1974). Mereka menunjukkan
bahwa dengan menaikkan gaji pegawai
negeri di atas gaji resmi, kita dapat memastikan—dengan kondisi tertentu—bahwa pegawai akan berperilaku jujur. Namun, apabila
masalah korupsinya tidak diselesaikan dan
penegakan hukum tetap lemah, yang terjadi adalah tingkat korupsi (biaya
korupsi) justru akan meningkat (Mookherjee dan Png, 1995).
Bukti
sistematis yang menunjukkan hubungan antara kenaikan gaji dan tingkat korupsi memang meragukan.
Rauch dan Evans (2000) dan Treisman (2000) menemukan tidak ada bukti kuat
mengenai hubungan antara kenaikan gaji dan turunnya tingkat korupsi. Sebaliknya
Van Rijckeghem dan Weder (2001) menunjukkan sebaliknya. Memang sulit untuk
mengukur korupsi dengan menggunakan data persepsi korupsi lintas negara. Sulit
untuk memastikan bahwa
gaji yang tinggi merupakan fungsi dari
rendahnya korupsi, atau sebaliknya. Hal yang menambah kesulitan untuk menarik kesimpulan
adalah data gaji yang agregat. Kenaikan gaji dari suatu kelompok penerima gaji
mungkin tidak berkaitan dengan korupsi oleh kelompok yang lain.
Dr.Tella
dan Schargrodsky (2003) menghindari masalah itu dengan meneliti gaji mereka yang naik,
berkaitan dengan pembuat keputusan yang mengundang kebiasaan suap. Dari kajian
itu, mereka menemukan adanya hubungan antara kenaikan gaji dan turunnya
korupsi, namun hanya ketika gencar-gencarnya audit dilakukan untuk melihat
ada-tidaknya korupsi. Ini
kesimpulan yang penting bagi negara berkembang dengan tingkat korupsi yang
tinggi. Tanpa sistem pemantauan yang jujur
dan konsisten, kenaikan gaji tidak akan menurunkan tingkat korupsi.
Pertanyaan Keenam
Can
competition reduce corruption? Pertanyaan
mengenai apakah Persaingan
dapat menekan korupsi, berkaitan dengan
pendekatan untuk menekan korups Jahan plkir.-Innya adalah, ketil~a ada
persaingan yang kuat, peserta tender akan persaingan. berusaha menekan harga jual mereka sekuat mungkin. Sehingga
tidak tersedia dana untuk mcnyogok pejabat.
Dalam kenyataannya, hubungan antara laba perusahaan dan korupsi sangatlah
kompleks, dan secara analitis tidaklah selalu jelas.
Kalau begitu apa yang
menyebabkan kaftan yang begitu kuat antara korupsi dengan, regulasi pasar? Salah satu jawaban yang masuk akal
adalah kewenangan yang dipunyai sang birokrat.
Para pejabat sering kali mengeluarkan aturan yang menghabat masuknya pesaing (barrier to entry)
supaya mereka bisa korupsi
(De Soto, 1989; Shleifer dan Vishny, 1993). Jadi, deregulasi bisa
mengurangi korupsi bukan karena ia meningkatkan persaingan, melainkan karena ia
mengurangi kewenangan birokrat.
Pertanyaan Ketujuh
Why
have there been so few (rccent) successful attempts to fight corruption? Di banyak negara, termasuk Indonesia, Pemberantasan korupsi dilakukan melalui
gebrakan-gebrakan oleh lembaga
atau aparat (penegak) hukum dan keuangan (para pemeriksa, seperti auditor dan
investigator). Mengapa begitu sedikit yang berhasil?
Gebrakan-gebrakan
sebenarnya berasumsi bahwa semakin banyak dan semakin balk penegakan hokum,
semakin besar korupsi bisa dibasmi. Padahal di banyak negara miskin, lembaga
hokum dan keuangannya lemah. Menambah somber daya kepada lembaga ini sering
kali bukan jawabannya. Contoh: ketika unit elite dari kepolisian Rusia
dilengkapi dengan persenjataan m.utakhIr
untuk memerangi kejahatan, yang dilakukan kelompok polisi elite itu adalah menjual persenjataan itu ke mafia dengan
harga yang lebih tinggi dari persenjataan yang mereka jual sebelumnya.
Sampai
hari ini tersedia sedikit bukti yang menunjukkan bahwa kalau lembaga-lembaga pemantau korupsi
diguyur dengan dana dan sumber daya lainnya, mereka akan berhasil menekan korupsi.
Hanya Hong Kong dan Singapura hal ini dapat dibuktikan, dan mereka dianggap
sebagai perkecualian. Di kedua negara ini, peningkatan sumber daya dibarengi dengan
pemberdayaan yang hebat dari lembaga-lembaga anti korupsi mereka. Di Hongkong
misalnya, Independent Commision Against
Corruption (semacam KPK di Indonesia) nienciptakan, preseden hukum bahwa
dalam kasus korupsi, seseorang bersalah sampai ia terbukti, tidak bersalah (guilty until proven innocent) Di. Hongkong
dan Singapura, pemberdayaan KPK mereka.
dibarengi dengan .berbagai reformasi di bidang administrasi negara. masalahnya,
di kebanyakan negara berkembang, komitmen inilah yang tidak bisa dihadirkan. Salah satu cap yang dilakukan diera
pernerintalian Soeharto, adalah melimpahkan fungsi berkembang preshipment inspection kepada perusahaan
internasional. Lebih dari 50 negara berkei melakukan hal yang sama.
Pertanyaan Kedelapan
Does
corruption adversely affect growth? Di
era Orde Baru, ada pakar dan pengamat yang berargumentasi bahwa korupsi justru
mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, dengan peny-tiapaii, perusahaan
bisa melicinkan usaha mereka yang tersendat oleh birokrasi yang tidak efisien.
Argumen ini didokumentasikan oleh Leff, 1964 dan Huntington, 1968. Malah
katanya, sistem bagi-bagi lisensi yang didasarkan atas sistem penyuapan
pejabat, akan menyebabkan perusahaan yang paling efisien mendapat lisensi (Lui, 1985). Hal yang dilupakan dalam
argumen ini adalah bahwa distorsi yang ditimbulkan oleh korupsi dianggap merupakan sesuatu yang given. Adalah Myrdal
(1968) yang menunjukkan bahwa bukan sang birokrat yang membuat segala
sesuatunya lancar. la justru menciptakan distorsi agar bisa mendapat uang suap.
Dalam kebanyakan teori
yang menghubungkan korupsi dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat, tindakan
korup itu sendiri bukanlah biaya sosial terbesar. Kerugian terbesar dari korupsi adalah bahwa korupsi melahirkan perusahaan
yang tidak efisien dan alokasi talenta (SDM),
teknologi, dan modal justru menjauhi
penggunaannya yang paling produktif
bagi masyarakat. Para pengusaha (entrepreneur)
yang baik menjauhi sektor publik. Kalau mereka dipaksa untuk berkolusi dengan birokrasi yang
korup, perilaku mereka akan menjadi "tembak dan lari" (hit
and run).
Kajian 'Fisman (2001)
menunjukkan adanya perusahaan yang hidup, dari korupsi dan kolusi dengan
pejabat Indonesia dan dari rent seeking
melalui hubungan mereka dengan penguasa. Korupsi juga merupakan hipotesis utama
mengapa dampak dari public spending terhadap pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan rakyat sangat mengecewakan.
Seluruh materi bagian sesudahnya dalam bab ini dapat didownload pada http://linkshrink.net/7UP2xY .
Belum ada tanggapan untuk "Resume Bab 7 Korupsi"
Post a Comment