Resume Bab 6 Fraud/Kecurangan


BAB 6
FRAUD
(Modul lengkap bab ini dapat didownload pada http://linkshrink.net/7zJ60m)
Fraud adalah suatu tindakan ilegal yang dilakukan secara sengaja dengan cara berbohong, menyembunyikan dan merekayasa yang dilakukan oleh individu maupun organisasi dengan maksud  memperkaya diri dan menghindari pembayaran. Dari beberapa pengertian di atas juga terkandung beberapa aspek kunci dari Fraud yaitu tindakan yang ilegal (ilegal act), disengaja (intentional), penipuan (deceit) dan menguntungkan.
Occupational fraud tree mempunyai tiga cabang utama, yakni : Corruption, Asset Misappropriation, dan Fraudulent Statements
Fraud triangle atau segitiga fraud, memiliki tiga sudut yaitu : Pressure, Perceived Opportunity, dan Rationalization
1.     Pengertian Fraud
2.     Fraud Tree (Pohon Fraud)
3.     Akuntan Forensik dan Jenis Fraud
4.     Manfaat Fraud Tree
5.     Pressure, Perceived Opportunity dan Rationalization
6.     Standar Akuntansi Forensik

1.    FRAUD DALAM PERUNDANGAN INDONESIA
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur berbagai ketentuan perundangan menunjuk kepada beberapa tindak pidana yang oleh para akuntan dikenal sebagai fraud. Kecurangan atau perbuatan curang hanyalah salah satu dari berbagai tindak pidana tersebut.
Kitab KUHP misalnya, menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud seperti:
  1.  Pasal 362 tentang pencurian (definisi KUHP: “mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”);
  2. Pasar 368 tentang pemerasan dan pengancaman (defisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang”);
  3. Pasal 372 tentang penggelapan (definisi KUHP: “dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekerasannya bukan karena kejahatan”);
  4. Pasal 378 tentang perbuatan curang (definisi KUHP: ““dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan hutang”)
  5. Pasal 396 tentang merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit.
  6. Pasal 406 tentang menghancurkan atau merusakkan barang (definisi KUHP : ‘’dengan sengaja atau melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain”)
  7. Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 yang secara khusus diatur dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (undang-undang nomor 31 Tahun 1999).
Disamping KUHP juga ada ketentuan perundang-undangan lain yang mengatur perbuatan melawan hukum yang termasuk dalam kategori fraud, seperti undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, berbagai undang-undang perpajakan yang mengatur tindak pidana perpajakan, undang-undang tentang pencurian uang, undang-undang perlindungan konsumen dan lain-lain.
Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 merupakan undang-undang yang mengartur salah satu bentuk fraud yaitu korupsi. Tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya, sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, secara melawan hukum. Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 2 ayat 1. Dalam Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi yang diterbitkan oleh KPK (2006): Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 Tahun 2001.
Ketiga belas pasal tersebut dirumuskan dalam 30 (tigapuluh) jenis tindak pidana korupsi. Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
  1. Menyangkut kerugian keuangan negara (diuraikan dalam pasal 2 dan pasal 3)
  2. Suap menyuap (pasal 5, 6, 11, 12, dan 13)
  3. Penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9, dan 10),
  4. Pemerasan (pasal 12),
  5. Perbuatan curang (pasal 7 dan 12),
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa (pasal 12 huruf i),
  7. Gratifikasi (pasal 12 B jo Pasal 12 C)

2.    PENGERTIAN FRAUD
The Institute of Internal Auditors (IIA) dalam International Standars for The Professional Practice of Internal Auditing (Standards), mendefinisikan Fraud sebagai:
“Any illegal act characterized by deceit, concealment, or violation of trust. These acts are not dependent upon the threat of violence or physical force. Frauds are perpetrated by parties and organizations to obtain money, property, or services; to avoid payment or loss of services; or to secure personalor business advantage.”
Sedangkan The American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) dalam Statement on Auditing Standard No. 99 memberi definisi Fraud sebagai:
“Fraud is an intentional act that results in a material misstatement in financial statements that are subject to an audit. The two types of misstatements... misstatements arising from fraudulent financial reporting and misstatements arising from misappropriationn of assets.”
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) dalam the 2010 Report to the Nation on Occupational Fraud menyatakan bahwa Fraud adalah :
“The use of one’s occupation for personal enrichment through the deliberate misuse or misapplication of the employing organization’s resources or assets.”
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam beberapa pasal menyebutkan pengertian fraud sebagai berikut :
1.     Pasal 372 : Penggelapan
Dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya.
2.     Pasal 378 : Perbuatan Curang
Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
Dari beberapa pengertian Fraud di atas dapat didefinisikan bahwa Fraud adalah suatu tindakan ilegal yang dilakukan secara sengaja dengan cara berbohong, menyembunyikan dan merekayasa yang dilakukan oleh individu maupun organisasi dengan maksud  memperkaya diri dan menghindari pembayaran. Dari beberapa pengertian di atas juga terkandung beberapa aspek kunci dari Fraud yaitu tindakan yang ilegal (ilegal act), disengaja (intentional),  penipuan (deceit) dan menguntungkan.

3.    FRAUD TREE (POHON FRAUD)
Secara skematis, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan Occupational Fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja, beserta ranting dan anak rantingnya. Fraud tree ini disajikan dalam Bagan 1.
Occupational fraud tree ini mempunyai tiga cabang utama, yakni corruption, asset misappropriation, dan fraudulent statements. Masing-masing cabang beserta ranting dan anak rantingnya akan dibahas dibawah ini.
  1. Corruption
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label “corruption” dapat dilihat di sisi kiri dari fraud tree (Bagian 1). Istilah “corruption” disini serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam ketentuan perundang-undangan kita. Istilah korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi, dan bukan empat bentuk seperti yang digambarkan dalam ranting-ranting: conflicts of interest,bribery, illegal gratuities, economic extortion.
Conflicts of interest atau benturan kepentingan sering kita jumpai dalam berbagai bentuk, di antaranya bisnis pelat merah atau bisnis pejabat (penguasa) dan keluarga serta krooni mereka yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga-lembaga pemerintah dan di dunia bisnis sekalipun. Ciri-ciri atau indikasinya, mereka menjadi pemasok:
a.     Selama bertahun-tahun. Bukan saja selama pejabat tersebut berkuasa. Melalui konrak jangka panjang, bisnis berjalan terus meskipun pejabat tersebut sudah lengser.
b.     Nilai kontrak-kontrak itu relatif mahal ketimbang kontrak yang dibuat at arm’s length. Dalam bahsa sehari-hari praktik ini dikenal sebagai mark up atau penggelembungan. Istilah mark up sendiri sebenarnya kurang tepat, karena baik mark up maupun mark down merupakan bagian dari praktik bisnis yang sehat.
c.      Para rekanan ini, meskipun hanya segelintir, menguasai pangsa pembelian yang relative sangat besar di lembaga tersebut.
d.     Meskipun rekanan ini keluar sebagai “pemenang” dalam proses tender yang resmi, namun kemenangan dicapai dengan cara-cara tidak wajar. Hal ini dibahas delam bab 17.
e.     Hubungan antara penjual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis. Pejabat atau penguasa bisa menggunakan sanak saudaranya (nepotisme) sebagai “orang depan” atau ada persekongkolan (kolusi) yang melibatkan penyuapan (bribery).
Bisnis yang mengandung benturan kepentingan sering disamarkan dengan kegiatan sosial keagamaaan dan muncul dalam bentuk yayasan-yayasan. Konsep conflicts of interest digunakan dalam konvensi PBB mengenai pemberantasan korupsi (United Nations Convention Against Corruption). Indonesia meratifikasi konvensi ini “pengertian, definisi, atau konsep conflicts of interest dalam memperkaya wawasan kita mengenai makna korupsi kalau ia dicantumkan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Memasukkan conflicts of interest ke dalam undang-undang mempunyai keuntungan yakni pembuktian tindak pidana korupsi yang mengandung unsur (bestanddeel) conflicts of interest relative lebih mudah. Kumudahan pembuktian tindak pidana korupsi ini bermanfaat dalam kasus-kasus pengadaan barang dan jasa.
Kasus VLCC-pertamina merupakan contoh lain dimana pembuktian korupsi dengan konsep conflicts of interest lebih mudah dari membuktikan adanya kerugian keuangan negara.
Benturan kepentingan bisa terjadi dalam skema permainan pembelian (purchases schema) maupun penjualan (sale schema). Lembaga pemerintah atau bisnis selaku pembeli (baik barang dan jasa) ber-KKN dengan “penjual”. Indikasi mengenai hal ini terlihat dalam hal pembeli merupakan lembaga besar, nilai pembeliannya tinggi, dan penjual merupakan penyuplai terkenal tingkat dunia. Jadi, seharusnya jual beli dapat (dan lazim) dilakukan secara langsung dan bukan melalui “penjual” perantara.


Gambar 6.1.
Fraud Tree

Lembaga pemerintah atau bisnis selaku penjual (baik barang dan jasa) dapat juga ber-KKN dengan “pembeli”. Praktik ini sangat mencolok dalam hal pembeli akhir (pembeli sebenarnya) merupakan captive market dari penjual, namun penjual tetap mengeluarkan marketing fee atau sejenisnya, yang tidak lain dari penyuapan.
Dari contoh-contoh di atas kita lihat pertautan antara benturan kepentingan dengan bribery, illegal gratuities, dan economic extortion.
Bribery atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam kehidupan bisnis dan politik di Indonesia. Kasus-kasus tindak pidana korupsi tahun 2008 dan 2009 menunjukkan hal ini. Oleh karena itu, tidak perlu ada uraian yang panjangl ebar tentang ranting ini.
Kickbacks (secara harfiah berarti “tendangan balik”) merupakan salah satu bentuk penyuapan dimana si penjual “mengiklaskan” sebagian dari hasil penjualannya. Persentase yang diikhlaskannya bisa diatur di muka, atau diserahkan sepenuhnya kepada “keikhlasan” penjual. Dalam hal terakhir, apabila penerima kickback menganggap kickback yang diterimanya terlalu kecil, maka ia akan mengalihkan bisnisnya ke rekanan yang lebih “ikhlas” (memberi kickback yang lebih tinggi)
Kickback berbeda dari bribery. Dalam hal bribery pemberinya tidak “mengorbankan” suatu penerimaan. Misalnya, apabila seseorang menyuap atau menyogok seorang penegak hukum, ia mengharapkan keringanan hukuman. Dalam contoh kickback di atas, pemberinya menerima keuntungan materi.
Dalam hal kickback, si pembuat keputusan (atau yang dapat mempengaruhi pembuat keputusan) dapat "mengancam” sang rekanan. Ancaman ini bisa terselubung tetapi tidak jarang pula dilakukan secara terbuka. Ancaman ini bisa merupakan pemerasan (economic extortion). Indikasinya adalah sang rekanan “tidak terpakai” lagi meskipun dalam kebanyakan hal ia lebih unggul dari rekanan pemenang.
Bid rigging merupakan permainan dalam tender. Illegal gratuities adalah pemberian hadiah yang merupakan bentuk terselubung dari penyuapan. Dalam kasus korupsi di Indonesia kita melihat hal ini dalam bentuk hadiah perkawinan, hadiah ulang tahun, hadiah perpisahhan, hadiah kenaikan pangkat dan jabatan, dan lain-lain yang diberikan kepada pejabat.
  1. Asset Misappropriation
Asset Misappropriation atau “pengambilan” aset secara illegal dalam bahasa sehari-hari disebut mencuri. Namun, dalam istilah hukum “mengambil” aset secara illegal (tidak sah, atau melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut, disebut menggelapkan. Istilah pencurian, dalam fraud tree disebut larceny. Istilah pencurian, dalam fraud tree disebut larceny. Istilah penggelapan dalam bahasa Inggrisnya adalah embezzlement. Contoh: pencurian barang di gudang oleh kepala gudang, disebut embezzlement. Dalam fraud tree ACFE, kelihatannya istilah larceny dipergunakan sebagai sinonim dari embezzlement.
Oleh karena ada istilah-istilah hukum yang khas untuk perbuatan “mencuri”, maka untuk menerjemahkan misappropriation, secara bebas penulis menggunakan istilah penjarahan. Ini adalah istilah generiknya. Istilah yang lebih khusus berkaitan dengan masing-masing modus operadinya, dijelaskan di bawah. Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label “asstmis appropriation” ini dapat di lihat di bagian tengah dari fraud tree.
Hal yang sering menjadi sasaran penjarahan adalah uang (baik di kas maupun bank: yang di bank, baik yang berupa giro, tabungan, maupun deposito). Uang tunai atau uang di bank yang menjadi sasaran, langsung dapat dimanfaatkan oleh pelakunya.
Asset misappropriation dalam bentuk penjarahan cash atau cash misappropriation di lakukan dalam tiga bentuk: skimming, larceni dan fraud ulent disbursements. Klarifikasi penjarahan kas dalam tiga bentuk di sesuaikan dengan arus uang masuk.
Dalam skimming, uang di jarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk ke perusahaan. Cara ini terlihat dalam fraud yang sangat di kenal para auditor, yakni lapping. Kalau uang sudah masuk ke perusahaan dan kemudian baru di jarah, maka fraud ini di sebut larceny atau pencurian. Sekali arus uang sudah terekam dalam (atau sudah masuk ke) sistem, maka penjarahan ini disebut fraudulent disbursements yang lebih dekat dengan istilah penggelapan dalam bahasa Indonesia.
Dari penjelasan diatas, kita mengenal satu bentuk lain. Yakni penjarahan atas dana-dana yang tidak masuk ke perusahaan secara fisik atau secara administratif. Dana-dana ini di himpun dari berbagai sumber, misalnya komisi resmi dari perusahaan asuransi atau kickback dari penyuplai. Dana-dana ini di sebut dana taksis: dalam bahasa belanda tatishe fonds : dalam bahasa inggris, slush funds. Dalam fraud tree diatas, baik pembentukan maupun pengeluaran dari dana taksis ini di definisikan sebagai corruption bukan asset misappropriation. Corruption seperti ini mengandung ciri skimming. Dalam praktik yang khas Indonesia, jarahan ini di kerjakan secara bergotong-royong dan di ketahui secara umum, bahkan dilegitimasi dalam bentuk sumber penghasilan yayasan kesejahteraan karyawan.
Larceni atau pencurian adalah bentuk penjarahan yang paling kuno dan di kenal sejak awal pradaban manusia. Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan lemahnya system pengendalian intern, khususnya yang berkenaan dengan perlindungan keselamatan aset (safeguarding of assets). 
Pencurian melalui pengeluaran yang tidak sah (fraudulent disbursements) sebenarnya satu langkah lebih jauh dari pencurian. Sebelum tahap pencurian,ada tahap perantara. Kembali ke diagram, kita lihat lima kolom (sub ranting) sebaga berikut: billing schemes, payroll schemes, expense reimbursement schemes, check tampering, dan register disbursements. Tahap perantara dengan menggunakan subranting ini lazimnya di bahas dalam buku-buku auditing. Secara singkat akan di bahas di bawah.
Billing schemes adalah skema permainan (schemes) dengan menggunakan proses billing atau pembenan tagihan sebagai sarananya. Pelaku fraud dapat mendirikan perusahaan “bayangan” (shell company) yang seolah-olah merupakan penyuplai atau rekanan atau kontraktor sungguhan. Perusahaan bayangan ini merupakan sarana untuk mengalirkan dana secara tidak sah keluar perusahaan.
Payroll schemes adalah skema permainan melalui pembayaran gaji. Bentuk permainannya antara lain dengan pegawai atau karyawan fiktif (ghost employee) atau dalam pemalsuan jumlah gaji. Jumlah gaji dilaporkan lebih besar dari gaji yang di bayarkan.
Expense reimbursement schemes adalah skema permainan melalui pembayaran kembali biaya-biaya, misalnya biaya perjalanan. Seorang pemasar mengambil uang muka perjalanan, dan sekembalinya dari perjalanan, ia membuat perhitungan biaya perjanan. Kalau biaya perjalanan melampaui uang mukanya, ia meminta reimbursement atau penggantian. Ada beberapa skema permainan melalui mekanisme reimbursement ini. Rincian biaya menyamarkan jenis pengeluaran yang sebenarnya (mischaracterized expenses). Contoh: perusahaan tidak memberikan penggantian konsumsi alcohol; pengeluaran ini disamarkan sebagai biaya makan dan minum atau biayanya dilaporkan lebh besar dari pengeluaran yang sebenarnya; ini lazimnya dilakukan dalam pengeluaran yang tidak ada atau tidak memerlukan bukti pendukung atau biayanya sama sekali fiktif (fictitious expenses).
Check tampering adalah skema permainan melalui pemalsuan cek. Hal yang dipalsukan bisa tanda tangan orang yang mempunyai kuasa mengeluarkan cek, atau endorsementnya, atau nama kepada siapa cek dibayarkan, atau ceknya disembunyikan (concealed checks). Dalam contoh terakhir, pegawai meminta dua buku cek dari bank. Sesuatu yang diketahui secara resmi hanya satu buku, sedangkan pengeluaran melalui buku cek kedua dirahasiakan. Di Amerika Serikat, cek yang sudah diuangkan, akan dikembalikan oleh bank kepada yang mengeluarkan cek (paid checks). Paid checks ini dan bonggol buku cek (check stub) yang disembunyikan.
Register disbursements adalah pengeluaran yang sudah masuk dalam cash register. Skema permainan melalui register disbursements pada dasarnya ada dua, yakni false founds (pengembalian uang yang dibuat-buat) dan false voids (pembatalan palsu).
Pelanggan datang membawa barang yang dikembalikannya, misalnya karena tidak puas dengan barang yang dibelinya. Untuk itu ia akan mendapat refund atau menerima kembali uangnya (atau pembatalan pembebanan credit card-nya). Dalam false refund ada berbagai cara penggelapan, di antaranya, penggelapan dengan seolah-olah ada pelanggan yang mengembalikan barang dan perusahaan memberikan refund
Seperti yang dijelaskan di atas, skimming  merupakan sebelum uang secara fisik masuk ke perusahaan. Contoh yang sangat popular adalah praktik gali lubang tutup lubang dalam penagihan piutang (lapping). Contoh lain piutang dihapus bukukan, namun tetap ditagih dari pelanggan. Hasil tagihan tidak masuk ke perusahaan dan dijarah oleh si penagih.
Sasaran lain dari penjarahan adalah persediaan persediaan barang (inventory). Umumnya daya tarik untuk mencuri kas lebih tinggi dari asset lainnya. Namun, dalam situasi tertentu persediaan barang sangat menarik untuk dijadikan sasaran pencurian. Contoh: penjualan BBM bersubsidi secara illegal pada waktu ada disparitas harga yang tinggi antara BBM bersubsidi dan yang tidak bersubsidi. Aset lainnya (yang bukan cash atau inventory) juga bisa menjadi sasaran adalah aset tetap, misalnya kendaraan bermotor yang dimiliki perusahaan.
Modus operandi dalam penjarahan aset yang bukan uang tunai atau uang di bank adalah misuse dan larceny. Misuse  adalah penyalahgunaan, misalnya pengunaan kendaraan bermotor atau aset teap lainnya untuk kepentingan pribadi. Hal ini sangat umum terjadi sehingga seringkali dianggap biasa dan bukan merupakan fraud. Contoh: alat transport (mobil, kapal terbang, helikopter) perusahaan atau lembaga pemerintah yang dipakai untuk mengangkut barang-barang pribadi atau inventaris kantor atau instansi pemerintah yang “dipinjam” selama seseorang memegang jabatan (misuse) dan tidak mengembalikannya sesudah ia tidak lagi menjabat (larceny),
  1. Fraudulent Statements
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label ”Fraudulent Statements” dapat dilihat di sisi kanan dari fraud tree. Jenis fraud  ini sangat para auditor yang melakukan general audit  (opinion audit). Fraud yang berkenaan dengan penyajian laporan keuangan, sangat menjadi perhatian auditor, masyarakat atau para LSM/NGO, namun tidak menjadi perhatian akuntan forensik.
Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan keuangan. Fraud ini berupa salah saji  (misstatements  baik  overstatements maupun understatements). Cabang dari ranting ini ada dua. Pertama, menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya (asset/revenue understatements). Kedua, menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya ( asset/revenue understatements).
Praktik-praktik ini secara ekstensif dibahas dalam buku-buku auditing, dan tidak akan dibahas disini. Khususnya dalam bentuk yang pertama, yang terlihat dalam banyak perusahaan public raksasa di Amerika Serikat , seperti Enron. Ketentuan undang-undang Sarbanes Oxley merupakan reaksi yang keras terhada praktik-praktik ini. Bentuk yang kedua lebih banyak berhubungan dengan laporan keuangan yang disampaikan kepada instansi perpajakan atau instansi bea dan cukai.
Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun laporan non-keuangan. Fraud berupa penyampaian laporan non keuangan secara menyesatkan, lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya, dan sering kali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Bisa tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun ekstern. Contoh: perusahaan minyak besar di dunia yang mencantumkan cadangan minyaknya lebih besar secara signifikan dari keadaan yang sebenarnya apabila diukur dengan standar industrinya, atau perusahaan  yang alat produksinya atau limbahnya membawamembawa bencana bagi masyarakat, tetapi secara terbuka (misalnya melalui iklan) mengklaim keadaan sebaliknya
Seluruh materi bagian sesudahnya dalam bab ini dapat didownload pada  http://linkshrink.net/7zJ60m)

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Resume Bab 6 Fraud/Kecurangan"

Post a Comment