WHY FORENSIC AUDIT
Tingkat korupsi yang tinggi menjadi pendorong yang kuat untuk berkembangnya praktik akuntansi forensik di Indonesia. Akuntansi forensik diperlukan karena adanya potensi fraud yang mampu menghancurkan pemerintahan, bisnis, pendidikan, departemen maupun sektor-sektor lainnya. Menurut Tuanakotta yang dikutip dalam Asia Pacific Fraud Convention (2007 : 23) “pada pertemuan Asia Pacific mengenai fraud tahun 2004, Deloitte Touche Tohmatsu melakukan polling terhadap 125 delegasi”. Polling tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan peserta (82%) menyatakan bahwa mereka mengalami peningkatan dalam corporate fraud (fraud diperusahaan) dibandingkan dengan tahun sebelumnya; 36% di antaranya menyatakan peningkatan fraud yang teramat besar.
Berdasarkan forecast BMI kuartal
keempat 2005 memuat SWOT Analysis mengenai lingkungan usaha diperoleh bahwa
dalam kategori Weakness, BMI memasukkan sistem hukum di Indonesia yang tidak
handal sedangkan dalam kategori Opportunities disebutkan bahwa pembasmian
korupsi akan meningkatkan minat para investor untuk menanamkan uang mereka di
Indonesia. Fraud terjadi karena Corporate
Governance yang rendah, lemahnya enforcement, kelemahan dalam bidang
penegakan hukum, standar akuntansi dan lain-lain konsisten dengan tingkat
korupsi dan kelemahan dalam penyelenggaraan negara. URUTAN PEMBAHASAN :
- Good Corporate Governance (GCG)
- Global Corruption Index (GCI)
-
Global Corruption Barometer (GCB)
- Bribe Payers Index (BPI)
- Korupsi
dan Iklim Investasi di Indonesia
- Survey
Integritas oleh KPK
(Seluruh materi bab ini dapat didownload pada http://linkshrink.net/7MgtIb)
1.
CORPORATE GOVERNANCE
1.
Definisi Good Corporate
Governance
Menurut
Parkinson (1994), menyatakan bahwa Good Corporate Governance adalah proses supervisi dan pengendalian yang
dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa manajemen perusahaan bertindak sejalan
dengan kepentingan para pemegang saham (shareholders).
Penerapan Good Corporate
Governance pada perusahaan diharapkan akan dapat memaksimalkan
nilai perseroan tersebut bagi pemegang saham.
Evans et al.
(2002), mengartikan Good Corporate Governance sebagai seperangkat kesepakatan atau aturan institusi
yang secara efektif mengatur pengambilan keputusan.
2. Prinsip-Prinsip
Good Corporate Governance
Pada tahun
2004, OECD telah mengeluarkan seperangkat prinsip Corporate Governance yang meliputi enam hal sebagai berikut :
a. Perlindungan
terhadap hak-hak pemegang saham.
Kerangka yang
dibangun dalam Corporate Governance
harus mampu melindungi hak-hak para pemegang saham. Hak-hak tersebut meliputi
hak-hak dasar pemegang saham, yaitu hak untuk (1) menjamin keamanan cara
pendaftaran atas kepemilikan, (2) mengalihkan saham atau menyerahkan saham, (3)
memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara teratur dan tepat
waktu, (4) berperan dalam memberikan hak suara dalam RUPS, (5) memilih anggota
pengurus, serta (6) memperoleh hak pembagian keuntungan perusahaan.
b. Persamaan
perlakuan terhadap seluruh pemegang saham
Kerangka Corporate Governance harus menjamin
adanya perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham, termasuk pemegang
saham minoritas dan pemegang saham asing.
c. Peranan
stakeholders dalam Corporate Governance
Kerangka Corporate Governance harus mengakui terhadap
hak-hak stakeholders, yang ditentukan dalam undang-undang atau perjanjian
(mutual agreements), dan bersama-sama menciptakan kerjasama yang aktif antara
perusahaan dengan para stakeholders dalam rangka menciptakan kesejahteraan,
lapangan pekerjaan, dan kondisi keuangan perusahaan yang dapat diandalkan.
d. Keterbukaan
dan Transparansi
Kerangka Corporate Governance harus memastikan
adanya keterbukaan informasi yang tepat waktu dan akurat untuk setiap
permasalahan yang material yang berkaitan dengan perusahaan, termasuk kondisi
keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan saham dan tata kelola perusahaan.
Disamping itu, perusahaan harus mengungkapkan informasi yang sudah disusun,
diaudit, dan disajikan sesuai dengan standar yang berkualitas tinggi baik secara
periodik maupun insidentil. Manajemen diharuskan untuk meminta kerjasama dengan
auditor eksternal untuk melakukan audit yang bersifat independen atas laporan
keuangan.
e. Akuntabilitas
Dewan Komisaris dan Direksi
Kerangka Corporate Governance harus memastikan
pedoman strategis perusahaan, monitoring yang efektif terhadap manajemen yang
dilakukan oleh dewan komisaris, dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap
perusahaan dan pemegang saham. Prinsip ini juga memuat kewenangankewenangan
yang harus dimiliki oleh dewan komisaris beserta kewajibankewajiban
profesionalnya kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya. Dewan juga harus
melaksanakan penilaian yang obyektif dan independen di perusahaan.
3. Manfaat
Good Corporate Governance
Perusahaan
yang memiliki Corporate Governance
yang baik, tidak hanya akan memberikan keuntungan bagi perusahaan sendiri,
melindungi kepentingan investor, tetapi juga pihak lain yang memiliki hubungan
langsung maupun yang tidak langsung dengan perusahaan. Dengan Good Corporate Governance, maka proses
pengambilan keputusan akan dapat berlangsung lebih baik, sehingga akan
menghasilkan keputusan yang optimal, dapat meningkatkan efisiensi serta
terciptanya budaya kerja perusahaan yang lebih sehat. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Sakai dan Asaoka (2003) bahwa penerapan Good Corporate Governance akan memberikan dampak positif bagi
kinerja perusahaan. Kepercayaan dari investor kepada perusahaan yang meningkat
akan memudahkan perusahaan dalam mengakses tambahan dana yang diperlukan
perusahaan untuk mengekspansi usahanya. Hal ini dikemukakan pula oleh McKinsey
& Co (2002) yang membuktikan bahwa lebih dari 70% investor institusional
bersedia membayar lebih perusahaan yang menerapkan Corporate Governance dengan baik dibanding perusahaan yang penerapannya
meragukan.
Bagi para
pemegang saham, penerapan Corporate
Governance yang baik dengan sendirinya akan dapat meningkatkan nilai saham,
yang berarti akan ada kenaikan jumlah deviden yang dibayarkan. Hal ini juga
akan menaikkan jumlah pajak yang diterima oleh Pemerintah, dengan kata lain
akan meningkatkan penerimaan negara di sektor pajak. Dengan berbagai manfaat
yang ditimbulkan oleh penerapan Corporate
Governance yang baik, sudah sewajarnya semua pelaku usaha di Indonesia
menyadari betapa pentingnya konsep pemulihan usaha dan ekonomi secara nasional.
4.
Korelasi
antara Corporate Governance dengan
kinerja keuangan
CLSA telah membuat kajian mengenai korelasi
antara Corporate Governance dengan
kinerja keuangan. CLSA adalah kelompok independent dan investasi yang
menyediakan jasa – jasa pasar modal seperti equity broking, merger and
acquisition dan asset management services kepada korporasi global dna klien –
klien institusional.
CLSA menyebutkan bahwa korelasi yang hampir sempurna
antara Corporate Governance di
lapisan teratas dan lapisan terbawah, dengan kinerja keuangan yang diukur
berdasarkan ROCE (return on capital employed) dan ROE (return on equity).
CLSA menyimpulkan adanya
korelasi yang kuat antara skor Corporate
Governance dengan kinerja harga saham. Enforcement sangat penting.
Kelemahan dalam bidang penegakan hukum, standar akuntansi, dan lain – lain
konsisten dengan tingkat korupsi dan kelemahan dalam penyelenggaraan negara.
2.
GLOBAL CORRUPTION INDEX
- Definisi dari Global Corruption Index
Semenjak tahun 1995, Transparansi Internasional telah
menerbitkan Global Corruption Index atau
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) setiap tahun yang mengurutkan negara-negara di
dunia berdasarkan persepsi (anggapan) publik terhadap korupsi di jabatan publik
dan politis.
Survei tahun 2003 mencakup 133 negara. Hasilnya
menunjukan tujuh dari setiap sepuluh negara (dan sembilan dari setiap sepuluh
negara berkembang) memiliki indeks 5 poin dari 10. Pada 2006 survei mencakup
163 negara. Indonesia berada pada peringkat 130 dari 163 negara tersebut dengan
nilai indeks 2,4. Pada 2007 survei mencakup 180 negara. Indonesia berada pada
peringkat 145 dari 180 negara tersebut dengan nilai indeks 2,3. Pada tahun 2010
survei mencakup 178 negara. Indonesia berada pada peringkat 110 dengan nilai
indeks 2,8, dan pada 2011 naik menjadi peringkat 100 dari 182 negara dengan
nilai index 3,0.
Nilai dari indeks ini sedang didebatkan, karena
berdasarkan survei, hasilnya tidak bisa dihindarkan dari bersifat subjektif.
Karena korupsi selalu bersifat tersembunyi, maka mustahil untuk mengukur secara
langsung, sehingga digunakan berbagai parameter untuk mengukur tingkat korupsi.
Contohnya adalah dengan mengambil sampel survei persepsi publik melalui berbagai
pertanyaan, mulai dari "Apakah Anda percaya pada pemerintah?" atau
"Apakah korupsi masalah besar di negara Anda?". Selain itu, apa yang
didefinisikan atau dianggap sah sebagai korupsi berbeda-beda di berbagai
wilayah hukum: sumbangan politis sah di satu wilayah hukum mungkin tidak sah di
wilayah lain; sesuatu yang dianggap sebagai pemberian tip biasa di satu negara
bisa dianggap sebagai penyogokan di negara lain. Dengan demikian, hasil survei
harus dimengerti secara khusus sebagai pengukuran persepsi (anggapan) publik,
bukannya satu ukuran yang objektif terhadap korupsi.
- Hasil Penilaian Indonesia pada Global Corruption Index Tahun 2015
Dikutip dari hasil temuan utama Transparency
International (TI) dalam Corruption Perception Index (CPI) 2015, Indonesia menunjukkan
kenaikan konsisten dalam pemberantasan korupsi, namun terhambat oleh masih
tingginya korupsi di sektor penegakan hukum dan politik. Tanpa kepastian hukum
dan pengurangan penyalahgunaan kewenangan politik, kepercayaan publik terhadap
pemerintah akan turun dan memicu memburuknya iklim usaha di Indonesia.
Kondisi tersebut menyebabkan perbaikan-perbaikan dalam
tata kelola pelayanan publik hanya mampu menaikkan skor Indonesia menjadi 36
dan menempati urutan 88 dari 168 negara yang diukur. Skor Indonesia secara
pelan naik 2 poin, dan naik cukup tinggi 19 peringkat dari tahun sebelumnya.
Skor CPI berada pada rentang 0-100. 0 berarti negara dipersepsikan sangat
korup, sementara skor 100 berarti dipersepsikan sangat bersih.
Corruption Perception Index (CPI) merupakan indeks
komposit yang mengukur persepsi pelaku usaha dan pakar terhadap korupsi di
sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara
negara dan politisi. Sejak diluncurkan pada tahun 1995, CPI telah digunakan
oleh banyak negara sebagai rujukan tentang situasi korupsi dalam negeri
dibandingkan dengan negara lain.
Di tahun 2015, rerata skor CPI global bertahan di angka
43. Perbedaan dengan tahun 2014 adalah jumlah negara yang memiliki skor di
bawah rerata menurun yang artinya ada 5% dari negara dunia yang telah melampaui
skor rerata global. Dalam CPI 2015, terdapat enam (6) negara yang memiliki skor
tertinggi. Negara-negara tersebut adalah Denmark (Skor 91/ Peringkat 1),
Finlandia (Skor 90/ Peringkat 2), Swedia (89/3), Selandia Baru (88/4),dan
Netherlands (87/5), dan Norwegia (87/5). Negara dengan skor terendah terdapat 5
negara yaitu; Sudan Selatan (15/163), Sudan (12/165), Afghanistan (11/166),
Korea Utara (8/167) dan Somalia (8/167).
Di level regional, Uni Eropa dan Eropa Barat masih
menempati region yang bersih dengan rerata skor 67, diikuti rerata skor Asia
Pasifik dengan capaian rerata skor 43. Rerata Asia Pasifik sedikit lebih unggul
dibandinkan dengan Timur Tengah dan Afrika Utara dengan skor 39, Subsahara Afrika
dengan skor 33, dan Eropa Timur dan Asia Tengah juga dengan skor 33.
Pada tahun 2015 ini, skor CPI Indonesia sebesar 36 dan
menempati urutan 88 dari 168 negara yang diukur. Skor Indonesia naik 2 poin dan
naik 19 peringkat dari tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut belum mampu
menandingi skor dan peringkat yang dimiliki oleh Malaysia (50), dan Singapura
(85), dan sedikit di bawah Thailand (38). Indonesia lebih baik dari Filipina
(35), Vietnam (31), dan jauh di atas Myanmar (22).
Meskipun secara relatif skor Indonesia masih kalah dengan
Thailand, Malaysia, dan Singapura, kenaikan skor CPI Indonesia semakin
mendekati rerata regonal ASEAN sebesar (40), Asia Pasifik sebesar (43), dan G20
sebesar (54). Tahun ini Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang
mengalami kenaikan kembar: "naik skor dan naik peringkat".
Mengindikasikan adanya progres pemberantasan korupsi di Indonesia, meskipun
pelan.
Kenaikan skor CPI dan terpilihnya pimpinan baru KPK
membawa optimisme terhadap perbaikan pemberantasan korupsi. Optimisme publik
ini perlu disikapi dengan perumusan strategi untuk mencapai target pencapaian
CPI di bawah pimpinan baru KPK, CPI Targetting. Rumus kenaikan skor CPI 2015
adalah 2-4-2. Artinya dari total 8 sumber indeks komposit CPI, 2 sumber (PERC
dan EIU) mengalami kenaikan, 4 sumber (ICRG, WEF, BTI, GI) mengalami stagnasi,
dan 2 sumber lain (IMD dan WJP) mengalami penurunan.
Penurunan skor CPI disumbangkan oleh survei yang membahas
tentang prevalensi korupsi dan sektor publik terdampak korupsi khususnya di
Kepolisian, Pengadilan, Legistatif, dan Eksekutif. Secara tidak langsung
merupakan bentuk pesimisme publik terhadap penegak hukum dan DPR, salah satunya
akibat pelemahan terhadap KPK, banyaknya indikasi pidana korupsi yang tidak
diproses, hingga tersangka korupsi yang dibebaskan.
Dalam konteks kemudahan berusaha, korupsi di sektor
penegakan hukum memberikan efek ketidakpastian terhadap bisnis. Merespon ini
pebisnis menghadapi cost of doing business yang sangat tinggi. Survei Persepsi
Korupsi (2015) menunjukkan terdapat 6 sektor yang memiliki kerentanan dan
kerawanan suap paling tinggi. Sektor tersebut adalah sektor kontruksi,
pertambanagn, migas, industri, perdagangan, dan kehutanan.
Risiko korupsi dapat
datang melalui dua arah, dari publik sektor ataupun dari privat sektor.
Menyikapi hasil CPI 2015 ini Transparency International Indonesia (TII)
merekomendasikan beberapa poin rekomendasi sebagai berikut:
a.
Presiden
memimpin langsung pemberantasan korupsi dengan fokus pada reformasi penegakan
hukum dan perbaikan pelayanan publik.
b.
Pemerintah
membangun prakarsa gerakan nasional melawan korupsi melalui
1)
Menyelenggarakan
Presidential Dialogue secara rutin dan inklusif
2)
Mengevaluasi
secara konprehensif Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (PPK)
3)
Melakukan
revitalisasi terhadap Anti-Corruption Forum (AC Forum)
4)
Membentuk
komite bersama percepatan pemberantasan korupsi di bawah Kantor Staf Presiden.
c.
Presiden
memperkuat KPK dengan menghentikan revisi UU yang mengancam eksistensi dan
menyempitkan kewenangan KPK.
d.
Pemerintah
menjaga momentum dan kepercayan publik dengan meningkatkan penindakan
kasus yang tidak direkayasa.
e.
KPK
mengoptimalkan fungsi dan kewenangannya dalam koordinasi dan supervisi
penanganan tipikor, monitoring terhadap reformasi birokrasi dan penegakan hukum.
f.
KPK
menggunakan Sistem Integritas Nasional sebagai cara untuk mendukung pemerintah
dalam memperkuat lembaga-lembaga kunci untuk memperbaiki tata kelola
pemerintahan dan pencegahan korupsi akuntabilitas.
g.
Parlemen
meningkatkan transparansi dan akuntablitas penganggaran dan legislasi,
sekaligus memperkuat fungsi pengawasan atas penggunaan anggaran yang dijalankan
eksekutif.
h.
Partai
Politik memperbaiki transparansi dan akuntabilitas pendanaan partai-partai.
i.
Masyarakat
sipil melanjutkan penguatan gerakan sosial melawan korupsi ke berbagai kelompok
masyarakat dalam rangka memperbaiki daya kontrol warga terhadap pemerintah.
3. GLOBAL CORRUPTION BAROMETER
Global Corruption Barometer (GCB)
merupakan survei pendapat umum yang dilakukan sejak tahun 2003. Survei
dilakukan oleh Gallup International atas nama Transparancy Internacional (TI). GCB berupaya memahami bagaimana
dan cara apa korupsi mempengaruhi hidup orang banyak, dan memberikan indikasi
mengenai bentuk dan betapa luasnya korupsi, dari sudut pandang anggota
masyarakat di seluruh dunia.
Survei Global
Corruption Barometer (GCB) atau
Barometer Korupsi Global (BKG) yang dilaksanakan oleh Transparency
International (TI) secara akumulatif menunjukkan bahwa publik memiliki persepsi
negatif terhadap kehidupan politik dan menganggap partai politik sebagai
institusi yang paling banyak dipengaruhi oleh korupsi. Namun bila dilihat satu
persatu, maka temuan survei BKG di setiap negara tergantung pada situasi
kontekstual negara tersebut.
Di bawah ini secara berturut – turut disajikan Global Corruption Barometer 2007 dan
2009. GCB 2007 mewawancarai 63.199 orang di 60 negara dan kawasan antara bulan
Juni dan September 2007. GCB 2009 mewawancarai 73.132 orang di 69 negara dan
kawasan antara bulan Oktober 2008 dan Februari 2009. Jumlah negara dalam survei
GCB sejak 2003 berubah – ubah sebagai berikut :
Tabel 2.1.
Jumlah Negara yang Disurvei
Tahun
|
Negara
|
2003
|
45
|
2004
|
64
|
2005
|
70
|
2006
|
63
|
2007
|
60
|
2009
|
69
|
Korupsi dalam GCB berarti uang sogokan
atau pembayaran tidak resmi untuk mendapatkan suatu pelayanan. Secara umum,
bukan hanya Indonesia, temuan utama survei GCB 2007 adalah :
1.
Rakyat
jelata (miskin) baik di negara berkembang maupun di negara industri yang sangat
maju adalah korban utama korupsi
2.
Sekitar
1 diantara 10 orang di seluruh dunia harus membayar uang suap atau sogok
(bribe)
3.
Penyuapan
marak dalam urusan dengan kepolisian, sistem peradilan, dan pengurusan izin –
izin
4.
Masyarakat
umum percaya bahwa lembaga – lembaga terkorup dalam masyarakat mereka adalah
partai – partai politik, parlemen / DPR, kepolisian, dan sistem peradilan
5.
Separuh
dari mereka yang diwawancarai memperkirakan korupsi di negara mereka akan
meningkat dalam tiga tahun mendatang
6.
Separuh
dari mereka yang diwawancarai berpendapat bahwa upaya pemerintah mereka
memerangi korupsi tidaklah efektif.
Sektor – sektor yang paling korup di
Indonesia menurut pendapat orang Indonesia sendiri adalah :
Sektor
|
Index
|
Police
|
4,2
|
Paliament /Legislature
|
4,1
|
Legal System/Judiciary
|
4,1
|
Political parties
|
4,0
|
Registry and permit services
|
3,8
|
Tax revenue authorities
|
3,6
|
Utulities
|
3,1
|
Business/private sector
|
3,1
|
The Military
|
3,0
|
Education system
|
3,0
|
NGO’s
|
2,8
|
Medical Services
|
2,8
|
Media
|
2,5
|
Religious bodies
|
2,2
|
Global Corruption Barometer (GCB)
merupakan survei pendapat umum yang dilakukan sejak tahun 2003. Survei
dilakukan oleh Gallup International atas nama Transparancy Internacional (TI). GCB berupaya memahami bagaimana
dan cara apa korupsi mempengaruhi hidup orang banyak, dan memberikan indikasi
mengenai bentuk dan betapa luasnya korupsi, dari sudut pandang anggota
masyarakat di seluruh dunia.
Survei Global
Corruption Barometer (GCB) atau
Barometer Korupsi Global (BKG) yang dilaksanakan oleh Transparency
International (TI) secara akumulatif menunjukkan bahwa publik memiliki persepsi
negatif terhadap kehidupan politik dan menganggap partai politik sebagai
institusi yang paling banyak dipengaruhi oleh korupsi. Namun bila dilihat satu
persatu, maka temuan survei BKG di setiap negara tergantung pada situasi
kontekstual negara tersebut.
Di bawah ini secara berturut – turut disajikan Global Corruption Barometer 2007 dan
2009. GCB 2007 mewawancarai 63.199 orang di 60 negara dan kawasan antara bulan
Juni dan September 2007. GCB 2009 mewawancarai 73.132 orang di 69 negara dan
kawasan antara bulan Oktober 2008 dan Februari 2009. Jumlah negara dalam survei
GCB sejak 2003 berubah – ubah sebagai berikut :
Tabel 2.1.
Jumlah Negara yang Disurvei
Tahun
|
Negara
|
2003
|
45
|
2004
|
64
|
2005
|
70
|
2006
|
63
|
2007
|
60
|
2009
|
69
|
Korupsi dalam GCB berarti uang sogokan
atau pembayaran tidak resmi untuk mendapatkan suatu pelayanan. Secara umum,
bukan hanya Indonesia, temuan utama survei GCB 2007 adalah :
1.
Rakyat
jelata (miskin) baik di negara berkembang maupun di negara industri yang sangat
maju adalah korban utama korupsi
2.
Sekitar
1 diantara 10 orang di seluruh dunia harus membayar uang suap atau sogok
(bribe)
3.
Penyuapan
marak dalam urusan dengan kepolisian, sistem peradilan, dan pengurusan izin –
izin
4.
Masyarakat
umum percaya bahwa lembaga – lembaga terkorup dalam masyarakat mereka adalah
partai – partai politik, parlemen / DPR, kepolisian, dan sistem peradilan
5.
Separuh
dari mereka yang diwawancarai memperkirakan korupsi di negara mereka akan
meningkat dalam tiga tahun mendatang
6.
Separuh
dari mereka yang diwawancarai berpendapat bahwa upaya pemerintah mereka
memerangi korupsi tidaklah efektif.
Sektor – sektor yang paling korup di
Indonesia menurut pendapat orang Indonesia sendiri adalah :
Tabel 2.2.
Sektor Terkorup di Indonesia
Sektor
|
Index
|
Police
|
4,2
|
Paliament /Legislature
|
4,1
|
Legal System/Judiciary
|
4,1
|
Political parties
|
4,0
|
Registry and permit services
|
3,8
|
Tax revenue authorities
|
3,6
|
Utulities
|
3,1
|
Business/private sector
|
3,1
|
The Military
|
3,0
|
Education system
|
3,0
|
NGO’s
|
2,8
|
Medical Services
|
2,8
|
Media
|
2,5
|
Religious bodies
|
2,2
|
Seluruh materi sesudahnya dapat didownload pada http://linkshrink.net/7MgtIb
Belum ada tanggapan untuk "Resume Bab 2_Mengapa Akuntansi Forensik (Why Forensic Audit) ?"
Post a Comment