BAB 29
PERHITUNGAN DAN PEMULIHAN KERUGIAN NEGARA
(Modul lengkap bab ini dapat didownload pada http://linkshrink.net/7n6lcX, untuk presentasi *ppt dapat didownload pada ppt)
Akuntansi berurusan dengan catat mencatat dan hitung
menghitung. Dalam akuntansi forensik, urusan hitung menghitung lebih mengemuka.
Dikaitkan dengan disiplin ilmu, akuntansi berurusan dengan perhitungan mengenai
kerugian yang dituntut atau digugat suatu pihak dari pihak lain.
Tuntutan tersebut harus ada dasar hukumnya.
Pertama-tama dasar hukum terpenting yang dimuat dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan dimuatnya pasal ini dalam undangundang di
banayk negara menandakan bahwa gagasan ini bersifat universal.
Para akuntan menhitung laba dan rugi secara periodic
dengan standar akuntansi keuangan. Akuntansi bukan satu-satunya sumber untuk
menghitung kerugian. Ilmu ekonomi juga mengenal gagasan mengenai opportunity cost atau opportunity lost.
Perhitungan akuntansi dan ekonomi menghasilkan angka yang berbeda. Kerugian
yang mencerminkan keadaan nyata sebagai konsekuensi perbuatan melawan hukum.
Hal ini berarti bahwa perhitungan apapun (ekonomi, akuntansi dan lain-lain)
pada akhirnya harus diuji dengan ketentuan hukum.
Dalam menyajikan perhitungan kerugian, akuntan
forensik harus mulai melihat konteks hukum yang menjadi acuan tuntutan kerugian. Apakah ia sedang
menghitung kerugian yang timbul karena salah satu pihak tidak memnuhi kontrak
dagang, atau kerugian terhadap negara diakubatkan kelalaian pegawai negeri
sipil dalam konteks hukum administrasi negara atau kerugian terhadap negara
yang diakibatkan tindak pidana korupsi.
Kerugian dan Perbuatan Melawan Hukum
Di bidang hukum kerugian dikaitkan dengan perbuatan
melawan hukum. Ada banyak arti yang ditulis oleh para ahli hukum. Dalam bab ini
menggunakan menggunakan acuan disertasi Dr. Rosa Agustina.
Pemikiran yang menghubungkan kerugian dengan
perbuatan melawan hukum (onrehsmatigedaad)
tercantum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer). Pasal ini berbunyi:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugan itu
karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Pasal 1365 KUHPer merupakan ketentuan ‘keranjang
sampah’ (all catches). Perumusan ini mendorong terjadinya penemuan hukum
(rechtsvinding) yang berkesinambungan. Artinya, melalui pasal ini hukum yang
tidak tertulis diperhatikan oleh undang-undang.
Makna Perbuatan Melawan Hukum menurut Mariam Darus
Badrulzaman merumuskan:
1. Suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan atau
kelalaiannya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
2. Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang
melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan keputusan yang harus
diindahkan dalam pergaulan kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda
orang lain.
3. Seseorang yang sengaja tidak melakukan suatu
perbuatan yang wajib dilakukannya, disamakan dengan seseorang yang melakukan
suatu perbuatan terlarang yang melanggar hukum.
Perumusan norma dalam konsep diatas telah
mengabsorpsi perkembangan pemikiran yang baru
mengenai perbuatan melawan hukum. Dalam konsep ini
pengertian melawan hukum menjadi tidak hanya diartikan sebagai melawan
undang-undang (hukum tertulis), tetapi juga bertentangan dengan keptuhan yang
harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat (hukum tidak tertulis).
Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat
digugat dengan dalil perbuatan melawan hukum diperlukan unsure-unsur:
1. Perbuatan tersebut melawan hukum
2. Harus ada kesalahan pada pelaku
3. Harus ada kerugian
4. Harus ada hubungan kausal antara perbuatan dan
kerugian.
Rosa Agustina membandingkan kerugian dalam perbuatan
Melawan hukum dan tort, serta mencatat persamaan berikut:
1. Unsur kerugian perbuatan Melawan Hukum dan Tort
perlu dibuktikan, hal ini penting untuk
menentukan ganti rugi yang akan diberikan akibat
terjadinya sesuatu Perbuatan Melawan Hukum
2. Besarnya kerugian tidak ditentukan oleh pihak
sendiri, tetapi ditentukan oleh para hakim atau pengadilan
sesuai dengan keadaan para pihak
3. Tujuan ganti rugi yang diberikan pada dasarnya
adalah sedapat mungkin mengembalikan keadaan seperti
semula sebelum terjadinya Perbuatan Melawan Hukum.
Rosa Agustina juga membandingkan tuntutan ganti rugi
dan teori klasik tort law dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan hubungan
kontraktual.
Tort Law memberikan perlindungan hukum terhadap
berbagai kepentingan, seperti keamanan pribadi, harta benda, dan kepentingan
ekonomi. Perlindungan tersebut diberikan melalui sistem kompensasi berupa ganti
rugi secara perdata. Berdasarkan teori klasik tort law ganti rugi diberikan
untuk
mengembalikan penggugat kepada posisi ketika
perbuatan melawan hukum itu terjadi.
Hal ini berbeda dengan tuntutan gantu rugi
berdasarkan hubungan kontraktual dimana ganti rugi itu bertujuan untuk menempatkan
di penggugat pada posisinya seandainya perjanjian itu terlaksana.
Berdasarkan hubungan kontraktual, penggugat dapat
menuntut kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau expectation loss. Teori klasik ini
telah mengalami perubahan, karena sekarang gugatan tort juga dapat diajukan
untuk economic lost.
Hubungan kausalitas antara Perbuatan Melawan Hukum
dengan Kerugian sering kali merupakan
perdebatan antara Penuntut Umum dan Tim Pembela
dalam tindak pidana korupsi. Kalau persoalan
kausalitas dalam hukum pidana adalah khusus mengenai
pertanyaan apakah telah dilakukan delik,maka persoalan kausalitas dalam hukum
perdata tersebut terutama mengenai persoalan apakah terdapat hubungan kausal
antara perbuatan yang dilakukan dan kerugian.
Beberapa Gagasan Mengenai Kerugian
Sesuai dengan wilayah hukum yang bersangkutan,
pemikiran tentang kerugian dan tuntutan ganti rugi akan berbeda pula. Hukum
perdata masuk ranah hukum privat, sedangkan hukum administrasi negara dan hukum
pidana masuk dalam ranah hukum public.
Perdata bagian 4 mencakup pasal 1234 sampai pasal
1252, selengkapnya berjudul “Penggantian Biaya, Kerugian dan Bunga karena Tidak
Dipenuhinya Suatu Perikatan”. Judul ini menunjukkan dua hal:
1. Pertama, ungkapan “penggantan Biaya, Kerugian dan
Bunga” mempunyai makna khas .
2. Kedua, ungkapan “Karena Tidak Dipenuhinya Suatu
Perikatan” mempunyai makna ganti rugi yang timbul
akibat cedera janji (wanprestatie). Dalam pasal-pasal tersebut akan ditemuka
istilah debitur, kreditur,
atau perserikatan lainnya (sewa, upah, bunga sepanjang hidup dan lain-lain).
Ini perbedaan penting
antara kerugian negara (dalam Hukum Administrasi Negara) dan kerugian keuangan
negara (dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tipikor) yang merupakan kerugian di sektor public.
Ungkapan “Penggantian Biaya, Kerugian dan Bunga”
mengandunga makna “kerugian” yang diungkapkan
dalam tiga istilah yaitu Biaya, Kerugin dan Bunga.
Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara
(Undang-Undang No 1 Tahun 2004) memberikan definisi
tentang kerugian dalam konteks kerugian
negara/daerah.
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang,
surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Kerugian negara/daerah yang timbul karenan keadaan
di luar kemampuan manusia (force majeure)
tidak dapat dituntut. Kerugan negara/daerah sebagai
akibat perbuatan melawan hukum dapat dituntut.
Makna “Kerugian” yang diterbitkan oleh BPK dalam
arti Kerugian Negara.
1. Kerugian Negara
Kerugian negara adalah berkurangnya kekayaan Negara
yang disebabkan oleh sesuatu tindakan
melanggar hukumm/kelalaian sesorang dan/atau yang
disebabkan suatu keadaan di luar dugaan dan diluar kemampuan manusia (force
majeure)
2. Besarnya Jumlah Kerugian Negara
Dalam masalah
kerugian negara pertama-tama perlu diteliti dan dikumpulkan bahan bukti untuk
menetapkan besarnya kerugain yang diderita oleh
Negara. Dalam penelitian ini perlu diperhatiakn
bahwa tidak diperkenankan melakukan tuntutan ganti
rugi untuk jumlah yang lebih besar daripada
kerugian sesungguhnya diderita (Surat Gouvernement
Secretaris 30 Agustus 1993 No. 2498/B).
Karena itu pada dasarnya besarnta kerugian negara
tidak dengan dikira-kira atau ditaksir.
Sampai saat ini ada dua pasal yang paling sering
digunakan untuk memidanakan koruptor, menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Hakim dan jaksa selalu berpendapat bahwa yang
dianggap sebagai kerugian negara adalah kerugian
yang bersifat riil, pengungkapan kerugian yang
bersifat potensial haruslah tetap dilakukan oleh BPKP.
Alasan utamanya adalah mengondisikan dan menyadarkan
para penegak hukum bahwa suatu
kerugian negara yang benar-benar merugikan negara
adalah sedemikian luas tidak terbatas pada
pengerian kerugian menurut asas kas, tetapi juga
berdasarkan akuntansi lain yang dianut oleh suatu
entitas.
Petunjuk BPKP menunjukkan langkah maju dalam
pemikiran dan pemahaman mengenai kerugian
negara yang dikembangkan oleh BPKP. Petunjuk BPKP
mengarahkan para auditor dan akuntan
forensik BPKP ke pengungkapan kerugian negara yang
bersifat potensial disamping kerugian yang
nyata atau riil
Tuntutan atas kerugian (keuangan) negara melalui
mekanisme berikut:
1. Hukum Administrasi Negara (dalam hal ini
Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara): nilai kerugian
yang dituntut sebesar kerugian yang terjadi tidak boleh kurang atau tidak boleh
lebih. Sifat kerugiannya
adalah nyata dan pasti (telah terjadi)
2. Hukum Pidana (dalam hal ini Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi): nilaikerugian
ya ng dituntut maksimum sebesar kerugian yang terjadi. Sifat kerugiannya adalah
nyata telah
terjadi atau berpotensi untuk terjadi.
Seluruh materi bagian sesudahnya dalam bab ini dapat didownload pada http://linkshrink.net/7n6lcX dan PPT* pada PPTX
link doesn't exist gan
ReplyDelete