Resume Bab 19 Wawancara dan Interogasi


Bab 19 Wawancara dan Interogasi

(Modul lengkap bab ini dapat didownload pada http://linkshrink.net/70yPOZ)

Wawancara merupakan sesuatu yang sering dilakukan oleh Auditor dalam menjalankan tugas audit, dan merupakan salah satu tehnik dalam pengumpulan keterangan, memahami obyek pemeriksaan, menguji keterangan yang telah didapatkan sebelumnya, melengkapi keterangan yang lain, dan tujuan-tujuan lainnya dari wawancara tersebut.
Secara umum, setiap auditor harus menguasai tehnik wawancara. Namun demikian masing-masing orang memiliki sifat, gaya dan karakter pribadi yang berbeda-beda baik auditor itu sendiri maupun pihak yang akan diwawancarai. Hal ini akan mempengaruhi tehnik dan metode wawancara yang dilakukan. Dalam hal waktu pelaksanaan wawancara, dapat dilakukan di awal atau pada saat audit berlangsung ataupun pada akhir audit sangat tergantung dari kondisi dan situasi audit serta tujuan dilakukannnya wawancara. Demikian halnya dengan tempat pelaksanaan wawancara, auditor akan menentukan tempat dilakukannya wawancara dengan mempertimbangkan beberapa hal yang berkaitan dengan materi wawancara dan kondisi di lapangan.
Tehnik, waktu dan tempat pelaksanaan wawancara maupun hal-hal lain yang dilakukan terkait dengan wawancara tidak menjadi masalah dan dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya, tetapi yang terpenting adalah tujuan dan hasil dari wawancara yang dilakukan sebab antara tujuan yang satu dengan yang lain biasanya berbeda dan untuk mencapainya tentunya membutuhkan tehnik, waktu, tempat dan hal-hal lainnya yang berbeda pula.
Hal lainnya yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan wawancara sehubungan dengan audit yang dilakukan adalah bagaimana pendokumentasian hasil, bukti dan inti maksud wawancara. Ini terkait dengan kertas kerja yang menjadi modal auditor sekaligus juga menunjukkan kemampuan, kompetensi dan keterampilan auditor dalam melaksanakan tugas audit. Dokumentasi wawancara dapat berupa tulisan, media elektronik atau media lain yang digunakan dalam kaitan dengan pembuktian bahwa wawancara benar-benar dilakukan untuk memperoleh informasi yang diinginkan dan tanpa adanya kesan yang mengada-ada atau melakukan penekanan yang mengakibatkan informasi tidak sesuai dengan adanya.
Terkait dengan interogasi, auditor internal pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan interogasi. Namun demikian metode, tujuan dan tehnik-tehnik interogasi biasanya secara tidak langsung juga sering dilakukan namun dalam kondisi yang tidak formal layaknya interogasi yang dilakukan oleh penyidik. Meskipun tidak ada aturan yang melarang atau membolehkan untuk melakukan interogasi, auditor menganggap hal ini dapat dilakukan sepanjang untuk mencapai tujuan memperoleh informasi dan mencapai tujuan audit yang dilakukan.

Auditor dapat memperoleh bukti dan pengakuan tersangka yang terkait dengan fraud tanpa perlu melakukan kekerasan dengan melakukan wawancara dan interogasi yang baik. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk para auditor harus mengetahui tentang wawancara dan introgasi yang dibahas pada modul ini.

2.1Pengantar
Wawancara dan interogasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah investigasi Fraud, seperti umumnya pelaksanaan investigasi, salah satu tantangan terberat dari wawancara dan interogasi adalah "waktu" seorang investigator yang baik harus mampu membuat jadwal dan urutan wawancara yang benar sebelum wawancara dilakukan, terutama untuk case-case yang melibatkan karyawan / nasabah / pihak ketiga terkait dalam jumlah banyak.
Apabila waktu memungkinkan saya pribadi lebih menyukai proses wawancara secara lisan, dilanjukan pemberian pernyataan tertulis oleh yang dimintai keterangan dan ditutup dengan interogasi dalam bentuk pembuatan BAP. alasannya sederhana, yang pertama untuk melihat konsistensi dari keterangan yang diberikan, dan yang kedua terdapat informasi yang kadang tidak tersampaikan pada setiap sesi tersebut, sehingga informasi yang diberikan bisa saling melengkapi satu sama lain. Setelah dilakukan telaah baru dimulai dengan audit investigatif dengan tujuan untuk mengumpulkan bukti-bukti/informasi dalam rangka pembuktian atas kasus yang terjadi.
Informasi harus sebanyak-banyaknya dikumpulkan, karena informasi merupakan nafas dan darahnya audit investigatif. Informasi tersebut diperoleh melalui pengumpulan bukti-bukti seperti pemeriksaan fisik, dokumen, konfirmasi, prosedur analitis, penghitungan ulang, observasi maupun tanya jawab. Semua bukti-bukti tersebut biasanya dikumpulkan terlebih dahulu sebelum dilakukan wawancara. Karena kalau bukti-bukti tersebut belum lengkap, auditor investigatif belum mempunyai bekal mengenai fakta atau informasi yang banyak mengenai permasalahan/kasus tersebut sehingga sulit untuk dilanjutkan dengan wawancara.
Setelah auditor investigatif mengetahui banyak fakta dan informasi melalui bukti-bukti yang telah diperoleh, maka tahap berikutnya adalah wawancara dalam rangka meyakinkan bukti-bukti yang telah diperoleh betul-betul bukti audit yang kompeten dan bisa digunakan sebagai dasar penyusunan Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI). Untuk memperdalam hasil wawancara biasanya diajukan dengan interogasi.
Tuanakotta (2007) menyatakan wawancara dan interogasi merupakan suatu teknik atau alat investigasi yang sangat penting. Banyak orang, termasuk profesional dalam bidang penyidikan mengacaukan istilah wawancara atau interview dengan istilah interogasi atau interrogation. Keduanya berbeda baik tujuan maupun cara.
Permasalahan lain yang sering dijumpai di Indonesia adalah penggunaan kekerasan dan intimidasi dalam melakukan wawancara dan interogasi. Penyidik menggunakan taktik ini untuk memaksa pengakuan dari “pelaku”. Hal ini keliru:
1.     Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pengakuan terdakwa dapat diperolah tanpa kekerasan.
2.     Ketika menyaksikan banyaknya “pengakuan” tersangka dalam Berita Acara Pemeriksaan yang kemudian dibantahnya dalam persidangan pengadilan.
3.     Pengakuan tersangka hanyalah salah satu alat bukti, itupun harus ada penyesuaian dengan unsur pembuktian yang ada pada alat bukti lain.
Penggunaan kekerasan masih terjadi (umumnya dalam kejahatan dengan kekerasan dan kasus pemerkosaan) karena penyidik mempunyai pengalaman bahwa pengakuan terdakwa membawa sukses dalam penuntutan dan tahap-tahap selanjutnya.
Penggunaan kekerasan untuk memaksa “terdakwa” mengakui “kesalahannya” terkadang terungkap. Kasus terkenal semacam ini di Indonesia adalah kasus Sengkon dan Karta. Peristiwa serupa dengan pemberitahuan luas di media massa terjadi lagi baru-baru ini dalam kasus terduga teroris, Siyono, yang tewas diduga karena disebabkan penyiksaan yang dilakukan oleh anggota Densus 88.
Sementara itu, penggunaan kekerasan fisik dalam penyelidikan kasus kejahatan kerah putih atau whote-collar crime dan kasus-kasus tidak pidana korupsi di Indonesia, tidak terdengar. Perilaku menyimpang dari penyidik dalam kasus kejahatan kerah putih lazimnya berupa pemerasan.
Pemeriksa fraud atau investigator harus mengerti sepenuhnya wewenang atau mandat yang dimiliki lembaganya. Investigator di suatu lembaga tertentu mungkin hanya bisa melakukan wawancara, tetapi tidak berwenang melaksanakan interogasi. Semetara itu, investigator di lembaga lain boleh melakukan keduanya. Ini merupakan alasan lain investigator perlu memahami perbedaan makna wawancara dan interogasi.

2.2Perbedaan antara Wawancara dengan Interogasi
Kedua istilah ini, wawancara dan interogasi, sering digunakan sebagai sinonim. Hal ini umumnya karena ketidaktahuan. Ada juga penyidik yang mengerti makna kedua istilah ini, tetapi sengaja menggunakannya secara “keliru”. Misalnya, untuk memberi kesan kepada majelis hakim bahwa ia tidak menggunakan kekerasan, maka ia menggunakan istilah wawancara padahal istilah interogasi lebih tepat menggambarkan tidak pemeriksaan atau investigasinya.

2.2.1       Ciri-ciri suatu Wawancara
BPKP (2008) mengidentifikasikan bahwa wawancara adalah suatu sesi tanya jawab yang dirancang untuk memperoleh informasi. Tidak seperti pembicaraan biasa, wawancara memiliki bentuk tersendiri, terstruktur, dan memiliki tujuan tertentu. Wawancara dapat saja berupa satu pertanyaan atau rangkaian pertanyaan yang kemudian dituangkan dalam suatu Bertita Acara Permintaan Keterangan yang disetujui oleh pihak pewawancara dan yang diwawancarai.
Tuanakotta (2009) menyebutkan bahwa wawancara bersifat netral, tidak menuduh. An interview is nonaccusatory. Ini perbedaan utama antara wawancara dengan interogasi. Sekalipun investigator mempunyai alasan untuk percaya bahwa yang bersangkutan terlibat dalam kejahatan atau ia telah berbohong, substansi dan caranya bersifat nonaccusatory ketika melakukan wawancara.
Dengan cara dan dana yang tidak bersifat menuduh, investigator dapat mengembangkan hubungan yang menimbulkan rasa percaya dan hormat. Dengan orang yang diwawancarainya.
Tuanakotta (2009) menyatakan tujuan wawancara adalah mengumpulkan informasi. Selama melakukan wawancara, investigator harus mengumpulkan informasi yang penting bagi investigasinya (investigative information) dan informasi mengenai perilaku dari orang yang diwawancarainya (behavioral information). Contoh investigative information: apa hubungan antara orang yang diwawancarai dengan orang tertentu yang dicurigai merupakan otak dari perbuatan tindak pidana yang diperiksa. Contoh behavioral information: keterangan mengenai perilaku orang yang diwawancarai ketika ia menjawab pertanyaan, bagaimana ia duduk, kontak mata dengan yang mewawancarainya, ekspresi wajahnya, caranya memberi tanggapan atau jawaban, pilihan kata atau kalimat; semua ini dapat memberi petunjuk apakah ia berkata jujur atau berbohong.
Pada akhirnya, pewawancara harus menilai kredibilitas dari tanggapan yang diberikan oleh orang yang diwawancarai. Hal ini utamanya dilakukan melalui evaluasi atas sikap (behavioral responses) selama wawancara, seiring dengan penilaian atas substansi informasi yang diberikan.
Wawancara dapat dilakukan pada awal investigasi. Karena tujuan wawancara adalah mengumpulkan informasi, tentunya semakin banyak informasi yang diketahui pemeriksa sebelum wawancara dimulai, semakin baik. Wawancara terkadang terpaksa dilakukan meskipun pemeriksa baru mempunyai gambaran kasar tentang bagaimana kemungkinan fraud dilaksanakan, atau bahkan sebekum pemeriksaan dapat mengidentifikasi bukti yang harus diperoleh.
Wawancara dapat dilakukan dalam berbagai lingkungan atau suasana. Pemeriksa terkadang mempunyai peluang menemui orang itu di kantornya, atau dalam pejalanan (jalan kaki) dari tempatnya makan siang, di sudut jalan, dalam mobil, dan lain-lain.Memang, idealnya, wawancara meskipun semua informasi belum diperolehnya.
Wawancara harusnya bersifat cair, tidak terstruktur, dan bisa melompat dari satu pokok ke pokok pembicaraan lain. Sebelum wawancara dimulai, pemeriksaan mempunyai gambaran mengenai informasi apa yang ingin dikumpulkannya. Namun, ia juga tidak boleh kaku. Secara kreatif, ia harus mengembangkan pertanyaan atas informasi yang diterimanya selama wawancara berlangsung. Informasi baru mungkin tidak diduga atau diharapkan. Pemeriksa juga pandai membaca suasana, misalnya untuk memutuskan menghentikan wawancara meskipun semua informasi belum diperolehnya.
Investigator harus membuat catatan mengenai wawancara formal (formal interview) yang dilakukannya. Wawancara formal adalah wawancara yang dilakukan dalam lingkungan terkendali (controlled information). Mencatat mempunyai beberapa kegunaan. Bukan saja ada pendokumentasian, tetapi mencatat juga menyebabkan investigator memperlambat proses bertanya. Ini memungkinkan investigator mengamati perilaku dari orang yang diwawancarainya. Pemeriksa perlu mengetahui bahwa seseorang lebih mudah berbohong ketika pertanyaan diajukan dengan kecepatan tinggi., seperti tembakan yang dilepas dari senapan otomatis. Mengatur tanya-jawab yang diselingi masa hening yang panjang memberi peluang bagi yang diwawancarai untuk berfikir mengenai tanggapan yang bersifat menyesatkan (deceptive response). Pada gilirannya, ini akan menyebabkan kecemasan yang terlibat dalam gejala tingkah laku menipu (behavior symptoms of deception). Juga, kalau yang diwawancarai adalah orang yang tidak bersalah, ia bisa bingung menghadapi pertanyaan yang diajukan dengan kecepatan tinggi.
Catat hasil wawancara dari awal sampai akhir, dan jangan sporadic (kadang dicatat, kadang tidak). Mencatat secara sporadic memberi kesan kepada yang diwawancarai bahwa jawaban tertentu penting sehingga dicatat oleh investigator. Ketika ditanyakan, pertanyaan lain yang terkait dengan jawaban yang dicatat, ia akan menjadi ekstra hati-hati. Mencatat secara sporadis akan menghambat arus informasi selama wawancara.

2.2.2       Ciri-ciri suatu Interogasi
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan interogasi adalah pertanyaan, atau pemeriksaan terhadap seseorang melalui pertanyaan lisan yang bersistem.
Tuanakotta (2007) menyatakan interogasi bersifat menuduh. An interrogation is accusatory. Seseorang yang bersalah tidak akan memberi keterangan yang bertentangan dengan kepentingan pribadinya secara sukarela, kecuali apabila ia yakin bahwa investigator juga mempunyai keyakinan tentang kesalahannya. Karena itu, pernyataan yang bersifat menuduh seperti: “Anang, saya tidak punya keraguan sedikit pun bahwa Anda yang merencanakan tidak pidana korupsi ini”, sangat diperlukan untuk memperlihatkan keyakinan investigator. Bandingkan jika pertanyannya berbunyi: “Anang, saya pikir Anda mungkin terlibat dalam merencakan tindak pidana korupsi ini”. Dengan pertanyaan terakhir ini, yang diinterogasi dengan cepat membaca bahwa ada ketidakpastian di benak si investigator mengenai keterlibatannya dalam merencanakan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, yang diinterogasi ini semakin yakin bahwa sikap yang harus diambilnya adalah membantah keterlibatannya.
Interogasi dilakukan dengan persuasi yang aktif (An interrogation involves activepersuasion). Interogasi dilakukan karena investigator percaya bahwa dalam wawancara sebelumnya (yang bersifat nonaccusatory), orang itu telah berbohong. Kalau interogasi dilakukan dengan cara bertanya dan bertanya terus, sangat tidak mungkin investigator akan mendapatkan keterangan yang berisi kebenaran. Untuk membujuknya menceritakan kebenaran. Investigator menggunakan taktik “membuat pertanyaan” dan bukan “mengajukan pertanyaan”. Taktik ini akan mendominasi seluruh interogasi. Sebelum seseorang mengaku bersalah, pertama, ia harus bersedia mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dibuat investigator.
Tujuan interogasi adalah mengakui yang sebenarnya, artinya apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang sebenarnya melakukan, berapa jumlah atau nilai fraud sebenarnya, dan seterusnya. The purpose of an interrogation is to learn the truth. Ada persepsi bahwa tujuan interogasi adalah mendapatkan pengakuan bersalah (confession); ini keliru.
Contoh: seseorang sedang sial. Ia dikira berbohong dalam wawancara sebelumnya. Karena itu, selanjutnya, ia diinterogasi. Setelah diinterogasi, baru ketahuan ia tidak bersalah. Dalam hal ini, investigator seolah-olah gagal mendapat pengakuan bahwa orang itu bersalah. Namun, ia sebenarnya berhasil. Interogasinya mengungkapkan kebenaran bahwa orang yang curigai ternyata tidak bersalah.
Interogasi juga sering berakhir dengan pengakuan bersalah oleh pelaku. Pada contoh ini, keberhasilan interogasi bukan diwujudkan dalam pengakuan bersalah, melainkan dalam mengetahui siapa yang sebenarnya bersalah.
Interogasi dilakukan dalam lingkungan yang terkontrol atau terkendali (controlled environment), bukan disembarang tempat. Taktik persuasi yang digunakan memerlukan lingkungan yang ada privacy, tidak terganggu orang yang lalu lalang dan bebas dari halangan lain (seperti suara bising tempat umum).
Interogasi hanya dilakukan sesudah investigator mempunyai keyakinan yang memadai mengenai salahnya seseorang. An interrogation is conducted only when the investigator is reasonably certain of the suspect’s guilt. Investigator harus mempunyai alasan untuk percaya bahwa seseorang telah berbohong. Alasan ini mungkin berupa perilakunya selama wawancara, keterangan yang berubah-ubah sebagai tanggapan atas pertanyaan yang sama, adanya petunjuk bahwa ia berbohong, dan lain-lain. Interogasi tidak boleh digunakan sebagai alat atau cara utama untuk menilai jujur tidaknya seseorang; penilaian ini seharusnya dapat dicapai dalam wawancara yang bersifat tidak menuduh.
Investigator tidak boleh membuat catatan sampai sesudah tertuduh menceritakan yang sebenarnya dan berketetapan hati (committed) untuk tidak bersingut dari posisi itu. Membuat catatan terlalu dini akan mengingatkan tertuduh bahwa keterangannya akan merugikan dirinya. Bahkan, para pakar menyarankan bahwa bukan saja catatan dibuat sesudah tertuduh sepenuhnya mengakui apa yang sebenarnya terjadi, pengakuan itu juga harus disaksikan investigator lain. Barulah, setelah ada pengakuan yang disaksikan investigator lain, investigator mendokumentasikan pengakuan tersebut dan segala perincian dari pengakuannya.

2.3Manfaat Melakukan Wawancara sebelum Interogasi
Investigator sering kali melakukan interogasi meskipun ia tidak punya bukti atau petunjuk untuk menuduh seseorang, dan keputusan untuk menginterogasi orang itu didorong oleh keinginan untuk mencari bukti. Umumnya, interogasi semacam ini dilakukan sekadar karena investigator mempunyai persepsi bahwa orang itu mempunyai perilaku aneh. Padahal, untuk menentukan seseorang berperilaku aneh, wawancara yang bersifat tidak menuduh merupakan sarana yang lebih baik dari interogasi.
Selain nilai behavioral information dari suatu wawancara, juga ada investigative information. Investigative information ini sangat diperlukan ketika wawancara akan ditingkatkan menjadi interogasi. Namun, investigator sering tergoda untuk mengambil jalan pintas, mengabaikan wawancara, dan langsung melakukan interogasi. Pendekatan ini sangat tidak disarankan karena:
1.     Sifat tidak menuduh dalam wawancara memungkinkan investigator membangun hubungan saling memercayai dan menghormati yang mungkin dibangun dalam suasana dan sifat menuduh yang melekat pada interogasi;
2.     Selama wawancara, investigator sering kali mengorek keterangan penting mengenai tertuduh yang sangat berharga sewaktu melaksanakan interogasi;
3.     Tidak ada jaminan tertuduh akan mengaku bersalah dalam proses interogasi. Padahal, kalau ia diwawancarai terlebih dahulu dan memberikan keterangan palsu selama wawancara, investigator dapat menggunakan keterangan dari hasil interogasi yang mengungkpakan kebohongannya. Hal ini membawanya lebih dekat kearah putusan pengadilan yang menyataka ia bersalah;
4.     Ada keuntungan psikologi bagi investigator ketika ia melakukan wawancara sebelum interogasi. Agar interogasi berhasil, tertuduh harus memercayai investigator bahwa ia objektif (tidak memihak) dan jujur. Ini akan lebih mudah dicapai apabila investigator menawarkan kesempatan kepada tertuduh untuk menceritakan yang sebenarnya melalui wawancara.
Tentu ada perkecualian terhadap saran di atas. Misalnya, dalam kasus penyuapan yang “tertangkap tangan” atau fraud yang terungkap dalam suatu covert operation, interogasi sebaiknya langsung dilakukan tanpa didahului dengan wawancara.
BPKP (2007) menyatakan untuk memperoleh hasil wawancara yang memadai, maka wawancara seharusnya dilakukan oleh auditor investigatif yang mempunyai karakteristik berikut yaitu:
1.     Orang yang mudah bergaul, berbakat dalam berinteraksi
2.     Ingin membuat orang lain ingin berbagi informasi
3.     Pewawancara tidak akan mengiterupsi responden dengan pertanyaan yang tidak penting
4.     Dapat menyusun pertanyaan yang spesifik yang bisa membuat responden secara sukarela memberikan informasi.
5.     Menunjukkan keseriusan dan perhatian atas jawaban yang diberikan responden.
6.     Cara mengajukan pertanyaan tidak dengan sikap yang menyalahkan.
7.     Pewawancara harus tepat waktu, berpakaian rapi dan bersikap fair dalam berinteraksi dengan responden.
Namun dalam kenyataan sering wawancara dilakukan oleh auditor yang tidak mempunyai karakteristik seperti tersebut diatas, sehingga hasil wawancaraya kurang berhasil atau justru tidak berhasil, yang mengakibatkan hasil audit investigasinya kurang meyakinkan. Hal itu banyak disebabkan kurangnya auditor investigatif yang tersedia di instansi tersebut. Selain kriteria tersebut diatas auditor investigatif dalam melaksanakan auditnya harus selalu dilandasi dengan sikap mental dan independensi serta integritas yang tinggi untuk menghindarkan adanya penyimpangan yang dilakukan oleh auditor, misalnya adanya penyuapan.


Seluruh materi bagian sesudahnya dalam bab ini dapat didownload pada http://linkshrink.net/70yPOZ.

Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "Resume Bab 19 Wawancara dan Interogasi"

  1. Kak linknya udh ga bisa dipakee? bisa download dimana yaa

    ReplyDelete
  2. kak linknya tidak bisa di pke.
    mohon solusinya

    ReplyDelete