Bab 21 Whistleblowing (Peniup Peluit)
(Modul lengkap bab ini dapat didownload pada http://linkshrink.net/7ruQ9o, untuk presentasi *ppt dapat didownload pada PPT)
Whistleblowing merupakan suatu pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lin yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia. Pengungkapan harus dilakukan dengan itikad baik, dan bukan merupakan suatu keluhan pribadi atas suatu kebijakan perusahaan tertentu ataupun didasari kehendak buruk/fitnah.
Whistleblower
biasanya
merupakan pegawai atau karyawan dari organisasi itu sendiri (pihak internal), dan
dapat pula berasal dari pihak eksternal (pelanggan, pemasok, masyarakat).
Pelapor perlu menyampaikan bukti, informasi, atau indikasi yang jelas atas
terjadinya pelanggaran yang dilaporkan, sehingga dapat ditelusuri atau
ditindaklanjuti. Tanpa informasi yang memadai, laporan akan sulit untuk
ditindaklanjuti.
Beberapa manfaat dari whistleblowing system, yaitu:
1.
Tersedianya cara penyampaian informasi penting dan kritis
bagi perusahaan kepada pihak yang harus segera menanganinya secara aman;
2.
Timbulnya keenganan untuk melakukan pelanggaran, dengan
semakin meningkatnya kesediaan untuk melaporkan terjadinya pelanggaran, karena
kepercayaan terhadap sistem pelaporan yang efektif;
3.
Tersedianya mekanisme deteksi dini (early warning system)
atas kemungkinan terjadinya masalah akibat suatu pelanggaran;
4.
Tersedianya kesempatan untuk menangani masalah
pelanggaran secara internal terlebih dahulu, sebelum meluas menjadi masalah pelanggaran
yang bersifat publik;
5.
Mengurangi risiko yang dihadapi organisasi, akibat dari
pelanggaran baik dari segi keuangan, operasi, hukum, keselamatan kerja, dan
reputasi;
6.
Mengurangi biaya dalam menangani akibat dari terjadinya
pelanggaran;
7.
Meningkatnya reputasi perusahaan di mata pemangku
kepentingan (stakeholders),
regulator, dan masyarakat umum;
8.
Memberikan masukan kepada organisasi untuk melihat lebih
jauh area kritikal dan proses kerja yang memiliki kelemahan pengendalian
internal, serta untuk merancang tindakan perbaikan yang diperlukan.
URUTAN PEMBAHASAN (pdf: http://linkshrink.net/7ruQ9o; pptx: http://linkshrink.net/7LdF5z)
- Pengantar
- UU Perlindungan Saksi dan Korban
- Faktor-Faktor terkait
Keberhasilan dan Kegagalan Whistleblowing System
- Pedoman Whistleblowing
System
- Whistleblower di Amerika Serikat
- Whistleblower di
Indonesia
A. PENGANTAR
Whistleblower merupakan
istilah yang digunakan dimana orang yang mengetahui adanya bahaya atau ancaman akan
berusaha menarik perhatian orang banyak dengan “meniup peluitnya”. “Meniup
peluit” merupakan suatu bentuk arti kiasan. Selain whistleblower, terdapat istilah “saksi”. Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana Pasal 1 ayat 26 dan 27 menjelaskan istilah saksi dan keterangan
saksi:
1. Ayat 26
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
2. Ayat 27
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
Whistleblower tidak perlu
mendengar, melihat, dan mengalami sendiri terjadinya pelanggaran, tetapi atas
kemauan bebasnya “meniup peluit” (“whistling”)
peringatan mengenai bahaya atau ancaman.
\Pembahasan
tentang whistleblowing system tidak
dapat dipisahkan dengan perlindungan terhadap para whistleblower. Hal ini disebabkan aparat penegak hukum sering
mengalami kesulitan dalam menghadirkan saksi dan korban karena adanya ancama
fisik dan psikis dari pihak tertentu. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Agak berbeda dengan di Indonesia, Sarbanes-Oxley Act di Amerika Serikat mengatur mengenai whistleblowing, whistleblower, dan
perlindungan khusus terhadap ancaman fraud
dalam beberapa area utama, yaitu:
1.
Ketentuan dalam Seksi 302 dari Sarbanes-Oxley
menyatakan: “Komite Audit wajib menetapkan prosedur yang memungkinkan pegawai
dari perusahaan terbuka untuk menyampaikan secara rahasia masalah akuntansi dan
auditing yang menimbulkan tanda tanya atau yang mencurigakan”.
2.
Selain itu, investigasi harus dilakukan sesuai dengan Seksi 806
dari Sarbanes-Oxley yang menyatakan: “Perusahaan,
pejabatnya, pegawainya, kontraktornya, subkontraktornya, atau agennya dilarang
memecat, menurunkan pangkat, menghentikan sementara, mengancam, atau
mendiskriminasi aksi pelapor”.
3.
Ketentuan dalam Sarbanes-Oxley
menegaskan bahwa perlawanan atau penekanan terhadap saksi pelapor tidak akan ditolerir.
Suatu seksi tambahan (Section 1513(e))
ditambahkan ke dalam Pasal 18 Hukum Pidana Amerika. Perlawanan atau penekanan
terhadap saksi pelapor merupakan kejahatan yang dipidana dengan denda yang
besar sampai pidana penjara sepuluh tahun.
Sebelum keluarnya Sarbanes-Oxley,
investigasi dilakukan oleh perusahaan untuk melihat dugaan internal fraud dapat mengungkap identitas dari whistleblower. Namun, sekarang, dugaan yang menyatakan bahwa whistleblower diancam atau mengalami
tindak diskriminasi akan menyebabkan dampak yang sangat serius terhadap
perusahaan.
Pada kenyatannya, praktik whistleblower
yang berkenaan dengan fraud di
perusahaan dan korupsi di lembaga-lembaga negara di Indonesia cukup marak.
Tindak lanjut terhadap whistleblowing
dan alasan orang menjadi whistleblower
pun beraneka ragam.
B. UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
Terdapat
beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang perlu
diketahui akuntan forensik. Undang-Undang ini memberikan beberapa definisi
berikut:
- Saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tetntang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia
alami sendiri;
- Korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana;
- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang itu;
- Ancaman adalah segala
bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak
langsung, yang mengakibatkan Saksi dan/atau Korban merasa takut dan/atau
dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkenaan dengan
pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana;
- Perlindungan adalah
segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa
aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau
lembaga linnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Selain itu, setiap Saksi
dan Korban berhak untuk:
- Memperoleh perlindungan atas
keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
- Ikut serta dalam proses memilih
dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
- Memberikan keterangan tanpa
tekanan;
- Mendapat penerjemah;
- Bebas dari pertanyaan yang
menjerat;
- Mendapatkan informasi mengenai
perkembangan kasus;
- Mendapatkan informasi mengenai
putusan pengadilan;
- Mengetahui jika terpidana
dibebaskan;
- Mendapat identitas baru;
10.
Mendapatkan
tempat kediaman baru;
11.
Memperoleh
penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
12.
Mendapat
nasihat hukum;
13.
Memperoleh
bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Untuk saksi dan/atau korban yang
merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim,
dapat pula:
- Memberikan kesaksian tanpa hadir
langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa;
- Memberikan kesaksiannya secara
tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan
membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang
kesaksian tersebut;
- Dapat didengar kesaksiannya
secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat
yang berwenang.
Bab 5 dari Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban memuat ketentuan-ketentuan pidana dari beberapa
pasal, yaitu:
- Pasal 37
a.
Setiap
orang yang memaksakan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan atau cara
tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a, huruf i, huruf j, huruf k, atau huruf l, sehingga Saksi
dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
b.
Setiap
orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sehingga
menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c.
Setiap
orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sehingga
mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling
lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
- Pasal 38
Setiap orang yang
menghalang-halangi Saksi dan/atau Korban secara melawan hukum, sehingga Saksi
dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, huruf p,
Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), atau Pasal 7A ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
- Pasal 39
Setiap orang yang
menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena
Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses
peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- Pasal 40
Setiap orang yang
menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat
(1), atau Pasal 7A ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian
yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Seluruh materi bagian sesudahnya dalam bab ini dapat didownload pada http://linkshrink.net/7ruQ9o dan PPT* pada http://linkshrink.net/7LdF5z.
Seluruh materi bagian sesudahnya dalam bab ini dapat didownload pada http://linkshrink.net/7ruQ9o dan PPT* pada http://linkshrink.net/7LdF5z.
Belum ada tanggapan untuk "Resume AF Bab 21 Whistleblowing"
Post a Comment